16

2.1K 81 21
                                    

Lelah, badan rasa seperti dipukul satu warga kampung karena ketahuan mencuri, kakiku juga teras pegal. Oh Tuhan, ternyata kerja jadi pelayan itu tidak mudah.

Aku baru satu hari kerja di restoran Pak Farid Kakak ipar Nadia, tapi capenya seperti sudah berhari-hari. Restorannya memang bukan restoran besar tapi pembelinya tidak juga berhenti sampai menunya benar-benar habis.

Aku memijit kakiku agar pegalnya hilang, aku bekerja dari jam delapan pagi sampai jam tujuh malam. Dan besok masih hari minggu itu artinya aku harus menyiapkan tenaga lagi. Ya ampun, apa aku sanggup?

"Dari mana saja kamu?" Aku lihat Dimas sudah berdiri didepan pintu kamarku yang aku lupa menutupnya.

"Bukan urusan kamu,"

"Kamu lupa ini rumah siapa?"

"Engga kok, apa mentang-mentang ini rumah kamu jadi aku harus lapor kemana saja aku pergi."

"Tadi Satria nanyain kamu."

Oh ya ampun aku lupa dengan Satria, ibu macam apa aku ini. Wekk, kaya Satria ngakuin aku ibunya. "Dimana dia sekarang?"

"Aku anterin ke rumah mamah lagi,"

Aku merasa bersalah, padahal aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk meluangkan waktu bersama Satria, tapi mau bagaimana lagi aku harus bisa dapet duwit lebih banyak bulan depan.

"Kamu sudah makan?" tanya Dimas. Aku mengerutkan alisku, dia kerasukan sentan apa sampai peduli aku sudah makan atau belum.

"Kalau sudah kenapa?"

"Baguslah, jadi aku bisa makan sendiri." jawab Dimas dan lalu dia melengos pergi begitu saja.

Aneh sekali dia, kalau lebih senang makan sendiri kenapa tidak makan dari tadi. Eh, tunggu. Jangan-jangan dia nungguin gue. Ah, mana mungkin Dimas nungguin gue.

Aku berdiri dari tempat tidurku dan berjalan menyusul Dimas. Sekarang aku lihat Dimas sedang makan sendiri di meja makan dengan hidangan yang cukup banyak. Aku menarik kursi dan langsung mendudukinya. "Aku laper lagi," kataku pada Dimas yang sedang bingung melihatku. Sebenarnya aku sudah kenyang tapi rasanya tidak tega melihat Dimas makan sendirian. Sepertinya aku memang sudah gila berpikir bahwa Dimas memang sengaja menyiapkan makanan untukku.

Aku menyiduk nasi dan bingung lauk mana yang ingin kumakan, ada sayur asem, tumis kangkung, ayam goreng, telur ceplok dan juga capcai. Apa semua ini Dimas yang masak?

"Ini Nata yang masak," kata Dimas seolah menjawab pikiranku.

"Nata? Bu Nataline maksud kamu?"
"Iya, tadi abis ngater Satria gak sengaja ketemu dia. Dia yang maksa ikut ke sini dan masak di sini. Aku rasa dia berlebihan masaknya."

Jadi ini semua masakannya Nataline, aku jadi tidak napsu makan. Lagian Bu Nataline ganjen banget si, udah punya laki masih aja gangguin laki orang. Aku yakin dia masak sebanyak ini biar bisa lama sama Dimas. Seandainya tadi aku gak pergi, bagaimanakah reaksi Nataline saat tahu aku tinggal disini.

"Kamu mau kemana?" tanya Dimas yang melihatku beranjak dari kursi.

"Ternyata aku masih kenyang, kamu habisin sendiri aja, jangan dibuang gak kasian sama yang masak," kataku yang kemudian langsung pergi.

✩✩✩

"Mak Lampir," aku menoleh, itu seperti.. Ah, benar saja. "Satria," ucapku. Aku terkejut melihat Satria, kenapa dia bisa ada disini. "Kamu di sini sama siapa?" tanyaku was-was jika dia ke sini dengan Dimas.

Emangnya kenapa jika bersama Dimas. Tapi kira-kira bagaimana reaksi Dimas saat tahu aku bekerja jadi pelayan seperti ini? Udah pasti dia malulah.

"Sama Oma, dia lagi ke toilet. Kenapa kamu pake kostum seperti itu, makin terlihat jelek." kata Satria, emang kalau dia ngomong gak pernah bikin seneng dikit.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 07, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta sejatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang