BAB 7 GO TO BANDUNG

2.2K 91 2
                                    

Aku terbangun dari tidurku. Oh tidak, badanku terasa pegal di sana sini. Ini akibat aku terlalu lama tidur di sofa, memang sofa ini cukup nyaman, tapi tetap saja tidak bisa membuat aku leluasa untuk bergerak. Tapi itu lebih baik dari pada aku harus tidur satu ranjang dengan Dimas.
jika ingat kejadian tadi malam sungguh aku malu sendiri.

"Apa yang sedang kau lakukan?" Suara Dimas membuyarkan kosentrasiku membuka koper.

Aku menoleh,  Dimas melihat ke arahku, dia menaikan satu alisnya dan berkata. "Seksi"

Aku melotot menyadari tubuhku yang hanya terbalut haduk. Aku menyilangkan tanganku berusaha melindungi dadaku.

"TUTUP MATA cepat, kita bukan muhrim" Teriakku.

"Hahaha, kamu bilang kita bukan muhrim, lalu ini apa?" Kata Dimas dengan menujukan jari-jarinya yang terpasang cincin. Ahhhhhh, aku jadi ingat kenyataan pahit dalam hidupku, padahal aku berharap aku lupa ingatan.

"Tetap saja, kamu ini hanya suami gadungan." Aku meneruskan membuka koper dan mengambil baju dengan cepat dan buru-buru melangkah ke kamar mandi.

"Bajunya jangan dipakai, supaya olahraga ranjang kita lebih mudah." Kata Dimas sebelum aku sampai di kamar mandi.

"Mimpi saja kamu, aku lebih baik tidur di sofa dari pada harus tidur denganmu"

"Baiklah kalau kamu maunya begitu," Menikah dengannya memang cobaan Tuhan yang paling berat.Laki-laki mesum yang menyebalkan dan tidak punya hati.

Aku menggelengkan kepala mencoba menghilangkan ingatan semalam. Aku melirik jam dan ini menjadi sejarah hidupku, karena baru kali ini aku bangun saat jarum jam masih bertengger diangka empat. Sekarang adalah hari Minggu, dan biasanya aku masih setia di alam mimpi. Tapi pagi ini aku harus bangun untuk memasak.

Meski pernikahan ini bukan pernikahan sungguhan, tapi peranku sebagai seorang istri tentu tidak bisa aku abaikan begitu saja.

Membuat sarapan adalah salah satu kewajibanku, maka dengan berat hati aku harus segera bangun dan pergi ke dapur.

Aku tidak menemukan bahan apapun yang bisa aku masak dari dalam kulkas Dimas. Pasti dia nggak pernah masak. Lalu apa yang harus kubuat?.

Akhirnya aku putuskan memasak nasi untuk aku jadikan nasi goreng.

Jam 6 pagi aku sudah selesai membuat nasi goreng. "Wahh,  ada untungnya juga saya memelihara kamu," tiba-tiba Dimas sudah berdiri di depan meja berhadapan denganku.

"Kamu menganggapku Anjing peliharaanmu"

"Tidak, itu terlalu buruk. Mungkin Astisten kedengeranya lebih sopan." Dimas menarik kursi dan menempelkan bokongnya.

"Sudah aku duga, kamu pasti kamu akan memperlakukan aku seperti itu." Aku ikut menarik kursi dan duduk berhadapan dengan Dimas.

"Hmmm...tidak terlalu buruk rasanya," katanya sambil menguyah nasi goreng buatanku.

"Apa susahnya bilang enak." Aku juga mulai melahap nasi gorengnya, tidak bermasud besar kepala, tapi memang masakanku selalu enak. "Kamu mau minum apa kopi, susu atau teh?" Tanyaku

"Aku suka air putih." Aku berdiri dan mengambil air putih di dapur.

sepertinya memang aku berbakat jadi pembantu. "Nih," aku menyodorkan segelas air putih kepadanya. Dimas menerimanya dan langsung menenggaknya sampai habis.

"Oh iya, sebaiknya kau siap-siap, sebentar lagi kita akan berangkat ke Bandung"

Aku berhenti menyendok nasi. "Bandung? Kamu tidak sedang berpikir untuk bulan madu, kan?"

"Jangan ngarep!! Ruamahku di sana dan aku juga akan tinggal di sana. Berhubung semua orang tahu kamu ini istriku jadi terpaksa aku harus membawamu." Ujar Dimas menekankan kata terpaksa.

"Kalau bicara jangan sembarangan! Bagaimana dengan pekerjaanku di sini, dan bukannya kamu juga harus mengurus perusahaanmu. Kamu tidak bisa seenaknya begitu."

"Seharusnya kamu sudah tahu, aku di sini hanya menggantikan Kakakku, dan kebetulan orang kepercayaan Kakakku sudah kembali dari New York, jadi mulai besok aku bisa kembali ke Bandung."

"Kamu tidak memberi tahuku sama sekali," kataku kesal, dia bicaranya santai sekali kaya mau ke pantai.

"Aku sudah memberitahu semua karyawan sewaktu meeting pertamaku, kecuali ada yang terlambat sehing.."

"Terus bagaimana dengan nasib pekerjaanku. Aku masih butuh pekerjaan untuk menghidupi keluargaku dan juga membayar hutangku padamu."

"Kamu tenang saja, kamu bisa kerja diperusahaanku di sana, kamu tidak perlu cemas, aku akan menempatkan kamu di bagian yang sama, jadi kamu tidak akan pusing dengan pekerjaan barumu. Bagaimana aku baik bukan?"

"Terima kasih atas kebaikannya yang sudah membuat selera makanku hilang." Aku sebal setangah mampus, setidaknya dia harus memberitahuku dahulu, tidak mendadak seperti ini. Jika sudah begini aku jadi tidak sempat berpamitan dengan teman-temanku, khususnya Ratih.

Harusnya aku menyewa pembunuh bayaran untuk membunuhnya.

✩✩✩✩

Cinta sejatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang