Ghali sudah bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Seragam OSIS sudah terpasang rapi di tubuh mungilnya. Ia menyandang tasnya lalu keluar untuk ke dapur, sarapan pagi bersama bundanya.
"Bunda, pagi." Ghali menyapa dengan suara pelan dan tersenyum kecil.
Abel membalas senyuman dan sapaan Ghali, "Pagi juga, Sayang."
Ghali duduk di kursi yang berhadapan dengan Abel. Abel mengambilkan makanan untuk Ghali, pipinya memerah. Pipi Ghali mudah memerah karena sebuah perlakuan manis yang menghangatkan hatinya.
Mereka makan bersama dalam diam. Selesai sarapan Ghali langsung pamit ke bundanya dan berangkat sekolah diantar oleh supir pribadinya. Sedangkan Abel juga langsung berangkat ke toko perhiasan miliknya.
Sampai di sekolah Ghali langsung masuk ke kelas. Dia duduk diam, memerhatikan suasana luar sekolah dari jendela, kebetulan kelasnya ada di lantai 2.
"Ghaliiiii!"
"Uh?"
Ghali kaget saat suara cempreng seorang cewek terdengar memanggil namanya. Siswa-siswi di kelas menatap sebal cewek itu yang si empunya sendiri tak begitu peduli.
Pendiam seperti itu bukan berarti Ghali tak memiliki teman. Yeah, walaupun tak banyak, setidaknya masih ada Hanni yang menjadi temannya. Hanya Hanni.
Hanni orang yang cerewet dengan suara cempreng yang sejak awal MPLS sudah gencar mendekati Ghali. Tidak, dia tak menyukai Ghali dalam konteks lebih. Dia tulus ingin berteman dengan Ghali yang menurutnya sangat-sangat menggemaskan.
Hanni penyuka cowok imut. Baginya cowok seperti Ghali adalah cowok langka.
"Hanni, jangan berteriak." Ghali memperingati.
Suaranya pelan. Ghali tak pernah berbicara dengan suara lantang. Beberapa kali guru bahkan menegurnya saat dia membaca di depan kelas karena suaranya yang begitu pelan.
Hanni cengengesan. Ia meletakkan tas nya di kursinya yang berada di depan tempat duduk Ghali.
"Makin gemes aja, sih, lo!" Hanni gemas dan mencubit pipi Ghali agak kencang.
Ghali mengaduh membuat cubitan Hanni terlepas karena si empunya tak tega. Pipi Ghali yang gembul itu memerah karena ulah Hanni.
"Abisnya, lu beneran gemes banget. Adek gue aja malah kayak reog, beda jauh sama lo."
Ghali tersenyum tipis.
Ia pernah sekali bertemu dengan adiknya Hanni. Anak itu benar-benar bandel dan usil, banyak tingkah. Pantas saja Hanni sering badmood karena adiknya.
Hanni duduk di kursinya sendiri, memutarnya menghadap Ghali.
"Nanti pulang sekolah mau ikut gue, nggak? Katanya ada acara pameran seni sama lelang barang kuno di lapangan kota."
"T-tapi..."
"Udah," sela Hanni. "Sekali-kali lo perlu lebih lama di luar, bukan cuma pas sekolah. Temenin gue, lah, buat liat-liat, ya, ya, ya?"
Hanni memohon dengan wajah melas yang walaupun tak sepenuhnya tetap saja meruntuhkan pertahanan Ghali. Akhirnya Ghali mengangguk setuju walau dalam hati merasa takut untuk berada di kerumunan orang.
Senyuman Hanni langsung terbit dan bersorak gembira. Ghali tersenyum menatapnya. Setidaknya ini sebagai balas budi karena Hanni yang begitu baik padanya, bukan?
•••
Sesuai kesepakatan tadi, kini Ghali dan Hanni sedang menunggu bus di halte sebagai transportasi mereka ke lapangan kota.
Ghali sudah izin kepada ibunya melalui telepon. Awalnya Abel tak mengizinkan, tapi setelah Hanni ikut andil dalam pembicaraan membuat Abel berubah pikiran namun membatasinya hanya 2 jam saja.
Bus datang. Keduanya segera naik dan bus pun kembali melaju.
Beberapa menit perjalanan mereka turun dari bus, mereka telah sampai di area taman kota. Untuk sampai ke dalam lapangan mereka hanya harus menyebrang jalan.
Hanni yang terlalu antusias berlari untuk menyeberang jalanan yang cukup ramai itu tanpa menoleh kanan-kiri. Ghali yang masih di pinggir trotoar dan melihat minibus yang tampak oleng menuju ke arah Hanni dengan kecepatan tinggi sontak berteriak.
Dia refleks berlari kencang sambil memanggil nama Hanni.
"HANNI AWASSS!!!"
BRAKK!!
Sekuat tenaga Ghali mendorong Hanni hingga terjerembab di trotoar. Nasib malang yang seharusnya menimpa Hanni justru tergantikan oleh Ghali.
Tubuhnya bertubrukan dengan bagian depan minibus cukup kencang hingga membuatnya terpental beberapa meter. Sedangkan minibus berakhir menabrak tugu besar.
Orang-orang berlarian ke arah Ghali sedangkan Hanni masih terdiam mematung di trotoar.
Ketika kesadarannya pulih Hanni langsung berdiri dengan bibir bergetar dan wajah pucat. Ia berlari ke arah kerumunan orang-orang sambil merapalkan nama Ghali.
Ketakutan Hanni berubah menjadi jerit tangis pilu ketika melihat tubuh Ghali bersimbah darah di aspal. Kepalanya pecah dan tangan kirinya putus.
Ghali tewas di tempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghali Becomes Rio
Novela JuvenilGhali pemalu dan kurang interaksi dengan dunia luar. Dia anak tunggal dan hanya hidup bersama bundanya, karena ayahnya telah tiada. Nasib malang menimpa Ghali yang berniat menolong sahabatnya justru merenggut nyawanya. ~ Jerio Killian Damaston, put...