Jerio Killian Damaston

26.1K 2.2K 24
                                    

Ghali tertidur setelah hampir 1 jam lebih merasa ketakutan dengan semua keasingan ini. Sementara ketiga cowok yang menjadi titik utama ketakutannya kini tengah duduk di sofa panjang sambil berdebat.

Tadi, sebelum Ghali tertidur, mereka bertiga sudah berbicara dengannya. Mereka mencoba mengorek ingatan Ghali dengan perkenalan nama dan kejadian sebelum dirinya berakhir di rumah sakit.

Ghali bingung. Sejak kapan namanya Rio? Sejak kapan pula mereka berempat saling mengenal? Sejak kapan dia tawuran? Seingatnya dia berusaha menyelamatkan Hanni dari minibus oleng hingga membuat dirinyalah yang merenggut nyawa.

'Eh, ini kok Ghali masih hidup? Tapi ini dimana? Semuanya asing, dan nama Ghali itu bukan Rio, Ghali juga gak kenal mereka.'

Itulah suara batin Ghali sebelum tertidur.

"Masa dia amnesia, sih?" Cowok bersuara cempreng, Eval, tak habis pikir.

Cowok bertindik yang bernama Rhino mengusap kasar rambutnya. "Tapi kenapa dia bisa kayak takut banget gitu? Terus tadi nyebut namanya Ghali sama manggil-manggil bunda, emang mereka siapa? Bukannya bunda Rio udah meninggal? Terus nama dia kan Jerio Killian Damaston, gak unsur nama Ghali."

Atlas yang sedari tadi diam tak begitu memperhatikan kedua temannya. Dia justru masih fokus memandangi brankar cowok yang sedang tertidur pulas.

Cowok di atas ranjang itu adalah teman sekaligus boss mereka dalam geng. Namanya Jerio Killian Damaston, biasanya dipanggil Rio.

Dia putra bungsu keluarga Damaston yang keberadaannya terkadang seperti makhluk tak kasat mata. Daddy dan keempat abangnya sibuk dengan aktifitas mereka masing-masing, acuh tak acuh dengan keberadaan Rio.

Rio yang pembangkang, susah di atur, dan seenaknya sendiri membuat mereka tak begitu peduli padanya. Mereka membebaskan Rio seperti binatang di hutan. Tak ingin tau apakah dia sakit, apakah dia sedih, atau apapun itu, mereka benar-benar tak mempedulikannya.

Kematian sang bunda yang membuat Rio seperti ini. Wajah datar dan ketidakpedulian mereka ketika sang bunda meninggal membuat Rio benar-benar marah dan kecewa. Apa mereka tak merasa kehilangan? Brengsek.

Tempat ternyaman bagi Rio adalah markasnya. Dia beruntung memiliki sahabat dekat seperti Eval, Atlas, Rhino serta semua anggota geng motor yang dipimpinnya, VOXID. Mereka adalah rumah Rio, rumah dalam bentuk kebersamaan dan kasih sayang.

Mata yang terlelap itu perlahan terbuka. Ia kebelet tapi tubuhnya masih terasa lemas. Ia bangkit untuk duduk dan bergerak-gerak gelisah.

Atlas yang melihatnya langsung menghampiri.

"Butuh sesuatu?"

Ghali terkejut tapi langsung menetralkan reaksinya.

"M-mau ke toilet."

"Hm?"

Suara Ghali saat mengucapkan itu memang sangat lirih, tapi pendengaran Atlas cukup tajam. Ia mendengar hanya saja ia ingin agar Ghali berbicara lebih keras.

"Mau ke toilet." Ulangnya sedikit lebih keras.

Ghali menunduk. Dia malu hingga wajah dan lehernya memerah.

Atlas yang melihat itu menyeringai senang yang tak dilihat oleh Ghali karena anak itu terus saja menunduk.

Dia langsung membantu Ghali turun dari brankar dan memegang tiang infusnya. Dengan pelan Atlas menuntunnya ke dalam toilet.

Rhino dan Eval hanya memperhatikan, masih berdebat dengan pikiran mereka masing-masing.

Apakah teman mereka itu memang amnesia atau ada hal tersembunyi lainnya?

Mereka tau Jerio Killian Damaston tak suka  mendrama. Ia blak-blakan dan sangat urakan.

Ia mana mau pura-pura lupa ingatan dan bersikap seperti anak manja yang pengecut begitu, eh?

Beberapa detik mereka berdua terdiam lalu tiba-tiba saling menatap dengan mata menyiratkan arti tertentu satu sama lain.

"Bentar, Bro, kayaknya kita punya pemikiran yang sejalan." Celetuk Eval terlebih dahulu.

"Kita akan mendapatkan kucing manis yang mau menurut, bukan begitu?" Balas Rhino dengan smirk liciknya.

Mereka berdua benar-benar sefrekuensi dalam pemikiran ini.

Mereka bertiga, bahkan semua anggota VOXID, cukup menyayangkan rupawan fisik Rio yang manis mungil dengan sifat berandalannya.

Dia memang tak pernah manja kepada mereka, tak pernah bersifat lembut dan manis. Rio justru sosok yang keras dan kasar, berbanding balik dengan tampilan luarnya.

Selesai buang air kecil Atlas menuntun Ghali untuk kembali ke atas brankarnya. Atlas meletakan tiang infus di tempat sebelumnya dan dengan perlahan menaikkan tubuh kecil itu ke atas bed brankar.

Wajah manis itu nampak memerah samar membuat Atlas yang melihatnyan menelan ludah. Imut. Sangat imut.

Selama ini ia hanya sering melihat wajah kasar dan dingin anak itu. Sekarang apa ini? Seperti bukan Rio.

Dan dia memang bukan Jerio Killian Damaston.

Ghali Becomes RioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang