9. Munculnya Ketakutan

79 15 11
                                    


Ada yang nungguin cerita ini ngga sih :(


***


Juno lupa kapan terakhir kali dia merasa sangat ketakutan. Mungkin saat dia dipaksa menaiki wahana-wahana horror di tempat rekreasi—ulah teman-temannya yang nggak senang melihat dia liburan dengan tenang. Atau ketika papa melucutinya dengan gasper tebal karena dia nggak sengaja membuat salah satu sepupunya menangis saat bermain bersama. Semua kejadian itu sudah lama, tapi apa pun yang terjadi waktu itu rasanya nggak sebanding dengan apa yang dia alami sekarang.

"Jun, Rey masuk IGD."

Pagi tadi, sebelum berangkat untuk jadwal photoshoot terakhir, dia masih bertemu bocah tersebut. Rey seperti biasanya, menggumamkan celotehan yang hanya dipahami oleh bocah itu sendiri. Rey nampak seratus persen sehat. Malah makin hari tambah lincah dan aktif. Jadi Juno nggak pernah berpikir bocah itu akan mengalami sesuatu yang mengkhawatirkan. Enggak, sampai akhirnya Dera menelepon dan memberikan kabar seperti itu.

Juno tadinya mengira Rey demam, tertular dirinya yang baru sembuh kemarin. Biarpun dijaga sebaik mungkin, namanya penyakit nggak ada yang memprediksi kapan menyerang. Rey bisa tertular dari manapun, terutama cuaca serta udara sedang nggak menentu.

Namun, gejala yang Dera sebutkan nggak mengarah pada penyakit sejenis demam. Rey mengalami sesak napas dan muntah-muntah. Jantung Juno rasanya merosot begitu dengar.

Seingin-inginnya Juno segera bertandang ke rumah sakit, dia masih punya tanggungan untuk menyelesaikan pekerjaan. Ada banyak yang terlibat dalam photoshoot itu, Juno nggak bisa semena-mena membatalkan. Kresna barangkali mempersilakan jika dia mengutarakan alasan yang sebenarnya. Tapi, Juno nggak mau ambil risiko bila orang lain mengetahui keberadaan Rey.

Alhasil dia cuma bisa memantau keadaan Rey melalui ponsel. Dera aktif memberikan kabar, namun itu nggak menenangkannya sama sekali. Juno nggak bisa mendeskripsikan kata yang tepat buat mewakili bagaimana perasaaannya. Yang jelas, semakin lama dia di sana, semakin besar rasa ketakutannya. Dan ini bukan jenis ketakutan yang pernah hinggap di hatinya.

Kenapa bisa sesak napas?

Kalau amit-amit, bocah itu mati gimana?

Pikiran Juno berkelana. Dia nggak bisa membayangkan bocah sekecil itu mengalami sesak napas dan muntah-muntah. Orang dewasa saja bisa lewat, apalagi ini cuma bayi umur enam bulan. Hati Juno tambah luruh ketika akhirnya bisa menyusul dan melihat bocah itu terkapar di ranjang rumah sakit dengan hidung dihiasi nebulizer untuk membantu pernapasannya.

"Masih nunggu hasil lab, kata dokter ada kemungkinan alergi makanan," ujar Dera.

Juno membisu. Dera bilang Rey belum bisa dipindahkan ke ruang rawat inap, sehingga mereka hanya bisa memantau dari luar.

"Maafin gue, Jun."

Cuitan lirih itu membuat Juno menoleh. Tadinya Juno ingin menyembur Dera dengan luapan pertanyaan. Makanan model apa yang Dera suapkan ke Rey sampai bocah itu sesak napas dan muntah-muntah? Kenapa Dera nggak sadar diri dengan kapasitas kemampuannya saat ingin membuatkan Rey sesuatu? Tapi, melihat kedua tangan Dera yang terus gemetar meski dokter sudah menangani Rey menyebabkan Juno menelan kembali semua yang terlintas di kepala.

Ketika dia hanya bisa menerka-nerka kondisi Rey, Dera adalah satu-satunya yang melihat secara langsung bagaimana bocah itu hampir sekarat. Dera sama seperti dirinya, nggak punya pengalaman mengurus bayi, perempuan itu tentu mengalami ketakutan yang jauh lebih besar dari yang dia rasakan saat ini. Juno nggak punya hak untuk menghakimi.

Lebih dari itu, dia sudah sangat terbantu dengan tindakan Dera yang langsung membawa Rey ke sini. Juno nggak bisa membayangkan jika kekalutan perempuan itu justru mengarahkan Rey pada kemungkinan lain. Sebab jika posisi dibalik, belum tentu Juno bisa berpikir dan mengambil keputusan seperti Dera.

Juno's BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang