18. Keep You Safe

69 10 3
                                    

"Mamaaaa, lempar bolanya!"

"Aduh, nggak bisa, Mama takut kena kepala!"

"Hahaha, enggaaak, Mama percaya aja sama aku!"

Suara yang berasal dari Smart TV berukuran sedang itu menguasai ruangan. Menampilkan anak laki-laki berusia tujuh tahunan yang tengah bermain bola basket bersama ibunya di halaman rumah. Mata indah bulat yang memandang segalanya dengan kekosongan itu terpaku memperhatikan untuk beberapa saat.

Ia menilik sosok ibu dari anak tersebut. Rambutnya panjang bergelombang, menggunakan dress putih di bawah lutut yang cantik, tak ada kerutan tanda penuaan—terlihat masih segar dan belia. Tawanya merebak bersama sang anak tatkala berhasil menembak bola ke dalam ring.

Ia mengerjap. Matanya kalang kabut mencari letak remote. Setelah menemukan di balik bantal, dia buru-buru mematikan tayangan tersebut saat sosok laki-laki muncul di layar. Gelap. Lenyap seketika. Dadanya yang bergemuruh mencoba untuk kembali tenang. Di tengah usaha tersebut, pintu ruangan terbuka.

"Selamat pagi, Ibu Gia!" Sapaan teduh yang sangat ramah dilayangkan untuknya. Orang-orang di sini seperti itu; mengulas senyum begitu lebar, penuh dengan terik kebahagiaan menyala-nyala. Kadang Gia diam sebentar hanya untuk membayangkan bagaimana rasanya menjadi salah satu dari mereka. Pasti menyenangkan bisa menyambut dunia dengan sebongkah keceriaan.

Dia tak bisa. Awan mendung selalu menghantui langkahnya. Membawanya pada kesedihan panjang yang nggak pernah dia ketahui kapan selesainya.

Perawat ini datang setiap pagi untuk memberi tahu apa saja kegiatan yang harus dia lakukan hari ini. Terapi-terapi yang nggak dia mengerti. Dia tak menyimak. Tatapannya jatuh pada jendela luas yang memperlihatkan situasi di sekitar tempatnya. Suara perawat itu seperti dengung nyamuk, sementara dia berpikir apa yang terjadi seandainya dia nggak dipindahkan ke lantai dasar.

Gia lebih suka kamar yang sebelumnya. Pada ketinggian itu, dia bisa membayangkan bagaimana jika dia berlari menembus kaca lalu menjatuhkan diri dalam sekejap. Pemikiran itu sudah sering datang. Telah dia coba abaikan, namun seringnya dia lakukan. Tetapi, tak pernah ada yang benar-benar berhasil. Dia selalu diselamatkan, saat sebenarnya dia tak ingin selamat. Mereka bilang, untung saja ada mereka. Untung saja mereka nggak terlambat.

Salah.

Hanya karena dia nggak jadi mati, bukan berarti mereka datang di waktu yang tepat. Untuk urusan menyelamatkannya, mereka sudah sangat sering terlambat. Mereka tak ada saat seseorang berusaha melumpuhkannya. Saat hari-hari setelah itu, dia merasa hina dan tak berharga. Alih-alih menariknya seperti saat dia mencoba terjun dari ketinggian, mereka justru mendekatkannya pada jurang kematian. Lantas, bagian mana dia harus merasa, 'untung ada mereka'?

"Oh iya, Bu Gia, perkenalkan yang di samping saya ini Mbak Dera. Untuk beberapa waktu ke depan, Mbak Dera yang akan membantu saya menemani teman-teman di sini."

Gia melirik sekilas. Perempuan berambut sebahu itu maju satu langkah agar terlihat. Senyumnya ramah seperti yang lain, hanya saja cara berpakaiannya lebih kasual, nggak terbalut seragam apa pun. Entah dia siapa. "Salam kenal, Bu Gia," sapanya ringan. Gia tak mengindahkan. Dia kembali menghadap jendela.

Gia tak merasa perlu berkenalan. Orang-orang di sini semuanya sama; hadir hanya untuk merasa bisa menyelamatkan.

Sekali lagi, dia tak ingin selamat.

Mereka terlambat.

***

Pelataran parkir rumah sakit jiwa ini jadi tempat yang cukup familiar untuk Juno selama beberapa waktu belakangan, kendati dia belum pernah lagi menginjakkan kaki ke dalam. Ada suatu spot yang biasa dia gunakan untuk menunggu seseorang keluar.

Juno's BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang