22. Hati yang Gamang

62 8 10
                                    

            Dera menyentuh keningnya lagi. Pagi ini terhitung yang kesekian kali.

Oh tentu, malam tadi bukan kali pertamanya mendapat ciuman laki-laki. Sebelum-sebelumnya sudah pernah ada yang melakukan, bahkan lebih dari sekadar ciuman dahi. Tetapi, entah kenapa yang satu ini rasanya berbeda. Setiap teringat pengakuan Juno, perut Dera jadi mulas nggak karuan. Bulu kuduknya meremang. Semalaman dia nggak bisa tidur sebab di antara kegelisahan tersebut, degup jantungnya berpacu kencang.

"Itu namanya lo jatuh cinta, Cyoooong~"

Riman yang pagi ini sudah menyesap gelas americano keempat memutar bola mata menemukan partner kerjanya menjelma bak gadis belia yang baru mengenal cinta. "Jangan kayak bocah SMP, deh. Galau-galau nggak jelas. Apa sih yang lo pertimbangin? Umurnya yang lebih muda dari lo? Ya elaaaah, Cyooong, umur hanyalah angka kaaali~ Udah nggak jaman cari yang seumuran. Brondong juga oke, kok!" repetan Riman serupa kicauan burung di pagi hari.

"Terima aja buat selingan, biar idup lo lebih berwarna. Jangan isinya cuma kerja, kerja, kerja. Buset, apa enaknya, Cyong? Lo tuh nggak lagi dalam misi pengin jadi biarawati, 'kan?"

Dera memijat pelipis. Untuk sesaat, dia menyesal bercerita tentang hubungannya dan Juno kepada laki-laki flamboyan tersebut. Tapi, mau bagaimana lagi, Dera juga nggak betah menyimpannya sendiri. Dia butuh seseorang yang lebih berpengalaman dalam urusan seperti ini. Riman jelas bukan yang paling expert, namun laki-laki itu tahu bagaimana sepak terjang asmaranya selama beberapa tahun belakangan.

"Dia udah kayak adek gue."

"Alah, tai."

Dera mencebik. Di antara samar-samar alunan lagu Kita Bikin Romantis yang sedang dinyanyikan band pengiring di ruangan samping, umpatan dongkol Riman masih bisa dia dengar jelas. Laki-laki itu menjatuhkan pantat di meja rias, lantas menyilangkan kaki. Decakannya lolos. Setelah mengerahkan seluruh tenaga untuk bangun tengah malam dan merias pengantin di sepanjang subuh, Dera dapat memaklumi jika omong kosong tadi adalah yang paling malas Riman dengar.

"Gue cuma mau fokus cari duit buat orang rumah," tutur Dera, pada akhirnya. "Ayah lagi sering drop, Bunda juga kesehatannya mulai menurun. Gue nggak bakal punya waktu buat pacaran, gue harus urus mereka."

Riman melipat kedua tangan di depan dada. Bibirnya mencureng, memikirkan sesuatu.

"Cyong, lo kan punya abang ya, lo ngobrol deh sama abang lo. Diskusiin bareng-bareng. Tugas ngurus orang tua itu nggak bisa dibebankan cuma ke satu anak, apalagi kalau alasannya cuma karena lo anak perempuan. Kurang-kurangin mikir begitu," komentar Riman. "Kalau mikirin keluarga mulu, terus kapaaaan lo punya kehidupan sendiri? Kapaaan lo kawin?~ Emang lo pikir bapa ibu lo itu mau, anaknya jadi perawan tua demi ngurusin mereka?! C'mon, punya rasa bertanggung jawab boleh, tapi jangan berlebihan. Kagak baek, Shay. Malu sama umur. Lo tuh harus punya boundaries tahu nggak? Hal-hal yang harusnya bisa lo kontrol, coba lo kontrol lah sendiri."

Dera meringis.

Riman mendengkus sambil menyibak angin, seolah itu rambut panjang yang membuatnya gerah. "Emang abang lo yang ada di Aussie itu sibuk banget, ya? Kagak mau gitu, dia pulang, nengokin ortunya?" tanya Riman.

"Nggak tahu." Dera mengangkat kedua bahu acuh tak acuh.

"Tuh kan, komunikasi, Neeeeng, komunikasi! Ngobrol!" geram Riman, mengepalkan tangan gregetan. "Eh, back to topic, terus tuh brondong akhirnya gimana? Lo tolak mentah-mentah?"

"Ya... nggak gimana-gimana. Dia cuma nyatain perasaannya aja, nggak ngajak pacaran, jadi gue nggak bilang apa-apa."

"Ilaaah, itu sebenernya dia ngajakin pacaran!"

Juno's BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang