23. Satu-Satu

56 9 5
                                    

Minggu lalu, saat Pak Suryo tiba-tiba mengiriminya rentetan pesan yang mengejutkan itu, esoknya dia memutuskan bertemu dengan dosen sepuh tersebut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Minggu lalu, saat Pak Suryo tiba-tiba mengiriminya rentetan pesan yang mengejutkan itu, esoknya dia memutuskan bertemu dengan dosen sepuh tersebut. Mula-mula, pertemuan tersebut dia maksudkan untuk memberi pengakuan bahwa skripsinya belum ada progress  sejak terakhir kali dia mendapatkan revisian--yang itu pun entah kapan, saking lamanya. Juno nggak mau memberi harapan palsu pada Pak Suryo. Beliau punya banyak mahasiswa bimbingan dan terkenal sulit dihubungi, jadi mengetahui Pak Suryo sampai mengirim pesan kepadanya, Juno rasa memang ada yang perlu diluruskan.

Tentu keputusan ini dia ambil dengan penuh kesadaran. Juno sudah menyerah dengan skripsi tersebut. Teman-temannya bilang, dipaksa saja. Skripsi yang baik adalah skripsi yang selesai, katanya. Tapi gimana bisa kalau otaknya mandek tiap berhadapan dengan laptop. Alhasil tulisan itu mangkrak hingga berbulan-bulan.

"Kamu kira anak-anak yang bimbingan sama saya pintar semua, Mas? Banyak yang belum paham apa yang mau mereka teliti. Ada juga yang mandek. Tapi mereka balik lagi, karena mereka punya niat ingin lulus."

Juno nggak berharap apa-apa saat memberikan alasannya ke Pak Suryo. Biar saja dosen tersebut menganggapnya nggak kompeten--atau bodoh. Memang begitu adanya.

"Ada apa sebenarnya?"

Namun, setelah seluruh hal yang sudah dia jabarkan dengan agak terbata-bata, Pak Suryo justru bertanya ulang. Seolah nggak bisa menarik kesimpulan mengapa dia nggak berminat melanjutkan.

"Apa yang memberatkan kamu?"

Dalam ruangan besar yang baru digunakan untuk bimbingan, keduanya berbicara. Mahasiswa bimbingan Pak Suryo sudah pulang semua, menyisakan Juno saja. Dinginnya AC menyambar bulu kuduk cowok berhidung bangir tersebut. Selain  suhu, tatapan Pak Suryo yang tajam dan menghunus membuatnya gugup. Keadaan ini kontradiktif  jika dibandingkan dengan peluh sebesar biji jagung yang mengaliri jidatnya. Diam-diam, di balik meja, kedua tangannya yang mengepal pun terasa berkeringat.

"Kalau alasanmu hanya karena nggak mampu, paling udah dari semester empat kamu berhenti, nggak mungkin kamu sampai di tahap ini."

Pria berumur nyaris tujuh puluhan ini memang punya aura galak dan dingin yang begitu kuat, beliau juga terkenal kejam bila berkomentar. Tapi dibanding dosen pembimbing di semester-semester sebelumnya, Juno masih sedikit lebih nyaman dengan beliau. Juno nggak sepenuhnya takut, masih ada sisa-sisa sungkan serta malu.

Juno malu bercerita kalau dia memang nggak pernah menargetkan lulus. Dia malu mengakui jika semua kemalasannya selama ini merupakan sebuah proyeksi kekecewaan kepada Mama. Bila dia mengutarakan ini, besar kemungkinan malah dia akan diceramahi. Biar saja orang-orang salah paham, dia pun nggak pernah memaksa agar dimengerti.

"Oke, kalau kesulitan menjawab. Berarti sudah final, nggak mau melanjutkan?"

Pertanyaan akhir dari Pak Suryo jadi modal jawaban Juno. Dia mengangguk cepat. Untungnya Pak Suryo nggak lagi mencecar. Beliau menerima jawaban tersebut tanpa mengulik lebih dalam, barangkali menyadari yang diajak bicara enggan bercerita. Pertemuan tersebut memakan waktu dua puluh menit sebelum akhirnya disudahi oleh Pak Suryo yang ingin makan siang. Juno hampir meninggalkan tempat tanpa beban, sampai kalimat perpisahan dari Pak Suryo menahannya di ambang pintu.

Juno's BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang