Langkah kaki gadis kecil itu begitu bersemangat, menuju area dapur dimana dirinya menemukan sang Ibu di sana.
"Eomma! Hari ini--"
"Hey, sayang. Kau sudah bangun? Bibi Shin akan datang sebentar lagi dan membuatkanmu sarapan."
"Eomma, hari ini aku--"
"Maafkan eomma, hmm? Kau bisa katakan apa yang kau mau nanti. Tapi eomma harus pergi sekarang. Sampai bertemu 5 hari lagi, hmm?"
Ibunya mendekat untuk mencium pipinya, dan gadis kecil itu tak bisa berbuat apapun selain menatap pada pintu tertutup dimana Ibunya sudah pergi, meninggalkannya kembali untuk sendirian.
Bahkan di hari ulang tahunnya hari ini.
Lagipula, Na Chaeri sudah terbiasa dengan Ibunya yang terus pergi untuk bekerja, lalu kembali ke rumah untuk waktu yang lama. Sementara Ayahnya? Chaeri tak pernah lagi mendengar kabarnya setelah perceraian kedua orangtuanya. Mungkin saja lebih sibuk dengan wanita selingkuhannya dan hidup bahagia.
Namun Chaeri sesekali akan terbangun di tengah malam, menuju kamar Ibunya dan melihatnya dengan sedikit membuka pintu kamarnya--tengah menangis di atas tempat tidurnya. Berpikir jika Ibunya masih bersedih akan Ayahnya yang berselingkuh dan pergi begitu saja dari mereka. Lalu esoknya bersikap baik-baik saja seolah tak terjadi apapun di hadapannya.
"Chaeri harus mengerti, ya. Eomma pergi bekerja juga untuk Chaeri. Memenuhi semua kebutuhan Chaeri agar kalian berdua bisa hidup lebih baik."
Kira-kira, begitulah yang selalu Bibi Shin ucapkan pada Chaeri jika dirinya kembali ditinggalkan oleh Ibunya. Seolah berusaha untuk menenangkannya yang mungkin akan sedih melihat kepergian Ibunya.
Chaeri mencoba untuk mengerti, dan waktu berlalu begitu saja. Usianya beranjak menuju 15 tahun, dimana hari itu pun tiba. Saat dirinya berlari kembali ke kamar Ibunya dan berharap jika Ibunya bisa merayakan ulang tahunnya bersama dengan dirinya.
Namun ketika Chaeri membuka pintu kamarnya, yang ia temukan adalah sang Ibu yang terbaring di sana. Sudah tak bernyawa karena terlalu berlebihan mengkonsumsi obat tidur hingga akhirnya mengalami overdosis.
Chaeri tak terlalu terkejut sebenarnya, seperti sudah akan mengetahui jika Ibunya akan berakhir seperti ini. Dan kesedihannya tak berangsur begitu lama, memilih untuk melanjutkan hidupnya walaupun ia harus sendiri setelah tak lagi mempekerjakan Bibi Shin di rumah mereka.
Usianya terus beranjak, hingga akhirnya bertemu dengan Jimin karena mereka berada di kelas yang sama dan duduk bersebelahan. Chaeri merasakan kehadiran Jimin di hidupnya sebagai anugrah terindah yang Tuhan berikan padanya. Dan tanpa bisa ia hentikan, Chaeri tak lagi melihat Jimin sebagai seorang teman. Melainkan seorang pria yang ia cintai, dan Chaeri ingin terus bersama dengan Jimin.
"Hari ini adalah kencan pertamaku bersama dengan Lisa. Doakan yang terbaik untukku, huh?!"
Hah, Lalisa lagi!
Kehadiran Lisa tentu saja membuat presensi Chaeri tergantikan di mata Jimin. Pria itu tak lagi menjadikannya nomor satu, dan dengan mudahnya melupakan hari ulang tahunnya kali ini disaat Jimin selalu menjadi orang nomor satu yang merayakan ulang tahunnya.
Menyebalkan!
.
.
"Kenapa?"
Lirihan itu masih bisa terdengar oleh Chaeri, menatap pada Lisa di sana yang hanya merunduk.
"Kenapa Sunbae melakukan semua ini?"
Chaeri tertawa pelan sembari beranjak dari duduknya, membawa satu kursi kosong untuk ia duduki dan kini bisa berhadapan dengan Lisa.
Hembusan asap rokok dari Chaeri sedikitnya membuat Lisa terbatuk--terlebih dengan dirinya yang memang tak mendapatkan asupan makanan apapun selain air putih yang diberikan padanya.
"Kenapa kau bertanya hal itu, hmm? Bukankah kau sudah tahu apa jawabannya?"
"Kalau begitu, aku akan melepaskan Jimin Oppa jika itu yang Sunbae inginkan. Tapi, kumohon lepaskan aku. Aku serius dengan ucapanku." Lirih Lisa, sama sekali tak memiliki tenaga apapun saat ini.
"Aku memang percaya padamu." Satu tangan Chaeri menyentuh wajah Lisa, berusaha untuk membuat tatapan mereka bertemu. "Tapi Jimin sangat mencintaimu, Lisa. Dan kau sendiri melihat bagaimana rasa cintanya terhadapmu tak pernah menghilang bahkan setelah enam tahun kalian berpisah. Dan satu-satunya cara agar aku bisa memilikinya tentu saja dengan menghilangkan presensi dirimu. Kau adalah masalah yang harus aku selesaikan. Sama seperti saat aku menghilangkan Jihye dan ibumu yang sama sekali tak berguna itu."
"Apa?" Lisa tentu terkejut dengan ucapan Chaeri tadi. "A-Apa maksud dari ucapan Sunbae?"
"Astaga, apa yang sudah aku lakukan tadi?" Terlihat Chaeri memasang wajah seolah tengah terkejut saat ini.
"Apa maksud Sunbae?!" Lisa sedikit meninggikan suaranya kali ini.
"Hey, kau tenang dulu. Ini tidak seperti yang kau pikirkan." Ucap Chaeri, terlihat tenang kali ini. "Aku hanya menyingkirkan orang-orang tak berguna. Bukankah kau seharusnya berterima kasih padaku? Aku menyingkirkan Jihye yang saat itu mengancammu. Dan ibumu? Apa perlu kita bicarakan tentangnya? Ck, jika aku jadi dirimu, aku tak akan segan untuk langsung mendorongnya dari lantai gedung tertinggi karena sudah membuat hidupku menderita."
"Tapi dia ibuku, Sunbae?! Bagaimana bisa kau dengan tega untuk membunuhnya?!"
Lisa terkejut dengan tamparan yang dengan cepat Chaeri berikan padanya. Dan tangisannya tak lagi ia tahan, menatap pada Chaeri dengan seluruh amarahnya.
"Hah, sungguh tak tahu berterima kasih. Apa begitu ucapan terima kasihmu padaku, huh?!"
Chaeri beranjak dari duduknya. "Baiklah, kurasa sudah cukup. Kau sama sekali tak memiliki rasa terima kasih, dan kehadiranmu sudah cukup untuk saat ini."
"Kau tak akan bisa begitu saja dengan seluruh kejahatan yang sudah kau lakukan, Sunbae."
"Maka dari itu, aku akan menyingkirkanmu."
Tangisan Lisa perlahan terhenti, melihat dua orang pria yang tetap bersama dengan mereka selama beberapa hari saat itu yang kini mendekat.
"Kau tahu jika aku adalah prioritas pertama Jimin dahulu, bukan? Namun setelah kau datang, Jimin terus saja mengabaikanku dan hanya terfokus pada dirimu."
Lisa berusaha untuk memberontak, masih memiliki keyakinan jika ikatan ini akan terlepas dari tubuhnya. Namun rasa sakit dari ikatan di tubuhnya semakin bertambah. Dan Chaeri yang melihat itu hanya bisa tertawa melihatnya.
"Kau akan semakin menambah luka di tubuhmu, Lisa." Chaeri kembali mendekat pada Lisa, merunduk untuk bisa menatapnya. "Kau tenang saja. Aku akan membuat kematianmu tak akan terasa sakit. Bahkan kau tak akan merasakannya sama sekali."
Dua orang pria itu kini mendekat, berusaha untuk menahannya tetap diam dan membekap mulutnya, sementara Chaeri kini mulai menyuntikkan jarum itu yang ia bawa pada leher Lisa.
"Istirahat yang tenang, Lisa. Jimin mungkin akan kembali terpuruk dan bersedih akan kematianmu, tapi itu tak akan berlangsung lama. Doakan aku dan Jimin bisa bahagia nanti jika kau berada di surga sana."
Obat tidur itu perlahan bereaksi, dan Lisa tak lagi berusaha untuk memberontak bersama dengan kedua matanya yang mulai perlahan tertutup.
Chaeri menatap pada dua orang pria suruhannya saat itu, dimana keduanya mengangguk setelahnya.
"Apa nona yakin baik-baik saja?" Tanya salah satu dari mereka.
Chaeri mengangguk, berusaha untuk menguatkan dirinya sendiri. "Aku baik-baik saja. Ingat, hanya beberapa lebam saja agar aku terlihat memang sedang diculik."
Ini memang gila, Chaeri akui itu. Namun itu sama sekali tak masalah. Banyak cara yang sudah ia lakukan untuk membuat dirinya tetap bersama dengan Jimin. Pria itu adalah hidupnya sekarang, dan Chaeri tak masalah untuk melakukan apapun.
Ya, kali ini, Chaeri harus bisa untuk membuat Jimin menjadi miliknya, selamanya.
--To Be Continued--
KAMU SEDANG MEMBACA
we got married ❌ jimlice
Fanfiction[18+] ✔ Jung Jimin, 25 tahun. Seorang idol ternama yang digilai banyak kaum hawa. Berbakat tentunya sudah pasti, bahkan tur konser dunia telah ia rampungkan tak lama setelah dia melakukan debutnya sebagai penyanyi idol. Di sisi lain, seorang Min Lal...