Juni 1972
"Gambar kamu bagus. Belajar di mana?"
Kala suara teduh itu menyapa gendang telinganya, ditambah dengan kehadiran lelaki yang berdiri di depannya sambil tersenyum kecil, Anna hanya dapat tertegun. Namun dengan segera Ia menutup buku gambarnya dengan cepat. Jangan sampai Galih menyadari sesuatu di halaman samping.
"Malam, eh, siang, Mas," sapanya terbata-bata.
Gerakan menutup buku yang secepat kilat itu membuat Galih agak tersentak. Namun setelahnya Ia kembali tersenyum. "Siang," balasnya, lalu berbalik badan menuju meja di dekat sana. Lelaki itu duduk dan meletakkan plastik berisi dua bungkus makanan di atas meja. Setelahnya Ia kembali menoleh ke arah gadis berkepang dua di meja kasir.
"Saya sama Jaka mau makan siang di sini. Pinjam sendok, ya," pinta Galih pada Anna yang bergerak kikuk, patah-patah mengangguk.
Dengan tergesa-gesa Ia berjalan cepat menuju dapur. Mengambil dua sendok yang dipinta Galih. Tak lupa juga Ia mengisi dua gelas air putih untuk mereka.
Dalam hati Anna menggerutu dan berharap Laras cepat kembali. Mana sanggup Ia berdua saja dengan Galih di sini. Jantungnya akan berpacu tak normal dan pipinya pasti akan memerah sepanjang waktu. Bagaimana jika Galih menyadarinya? Bagaimana jika dia terlihat aneh? Bagaimana jika...
Di dapur itu Anna memekik tertahan, tanpa diketahui siapa pun kecuali dirinya dan Tuhan. Ia sadar betapa memalukan dan aneh dirinya karena bersikap kikuk dan bergerak gugup di depan Galih. Ayolah, tidak bisakah dia bersikap normal? Tidak bisakah dia santai sedikit? Mengapa dia segugup ini? Kedatangan Galih ke toko kue hanya untuk makan siang, bukan melamarnya.
Dia bahkan harus berhitung sampai sepuluh sebelum keluar dari dapur untuk membawa sendok dan gelas ini. Tangannya terus bergetar saat berjalan mendekati meja tempat Galih duduk.
"Ini, Mas," Ia menyerahkan dua sendok yang kemudian diterima oleh Galih.
"Ini juga, Mas. Putih air," Anna kembali merutuki dirinya sendiri saat sadar betapa aneh dan memalukannya kalimat yang Ia ucapkan saat meletakkan dua gelas berisi air putih di atas meja.
Galih yang menyadari adanya kesalahan dari kalimat Anna tersenyum geli. Sebenarnya dia ingin sekali tertawa. Tapi demi menjaga perasaan gadis muda itu dia menahannya.
"Terimakasih, Kepang. Tapi kalau boleh saya minta es teh saja, biar airnya untuk Jaka," Galih berujar demikian sambil tersenyum. Astaga, senyuman itu. Apa bisa sekali saja lelaki ini tidak mengacak-acak hati dan menyebarkan kupu-kupu di perutnya akibat senyuman itu?
"Saya buatkan es tehnya. Tapi diminum juga air putihnya, Mas. Nggak baik jarang minum air putih," Anna mengangkat kedua sudut bibirnya dengan susah payah. Ia ingat sekali lelaki ini pernah dimarah oleh sang ayah perihal ini. Jarang minum air putih itu kebiasaan buruk. Dampaknya juga buruk. Si Kepang Dua itu tentu tidak ingin pujaan hatinya terkena dampak dari kebiasaan buruknya.
Galih mengangkat kedua alisnya, rasanya seperti dinasehati orangtua di rumah. Dari kecil Ia jarang minum air putih yang menurutnya agak pahit. Ia sedikit tak menyangka, setelah sekian lama ada lagi orang selain keluarganya yang menegur tentang kebiasaannya yang jarang minum air putih.
Maka dari itu Ia mengangguk mengiyakan, lantas matanya mengekori Anna yang berbalik badan untuk pergi membuat es teh untuknya.
Galih tertegun sedikit.
"Jadi ingat lagi"
Ting
Lonceng pintu berbunyi pelan. Ada yang datang namun bukan pelanggan. Tebak siapa? Ternyata dua orang yang sebelumnya berdebat tentang minuman botol terakhir di toko kelontong. Mereka berdua datang dengan saling menggerutu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unanswered Questions 1972
General FictionRangkaian kisah ini harusnya sederhana. Hanya tentang dirinya yang jatuh cinta dan berusaha menghubungkan simpul demi simpul pertanyaan dari benang takdir yang seiras. Apakah cintanya akan berbalas? Dan jika tidak, berapa lama waktu yang Ia perlukan...