01|Sejauh Ini, Halaman Itu Belum Ada

87 7 1
                                    

April 1972

Pukul 06.30, gadis dengan rambut dikepang dua itu sibuk mondar-mandir di dalam ruangan klasik minimalis. Memeriksa panggangan, pergi ke adonan kue lainnya, menata susunan kue, lalu kembali lagi memeriksa panggangan. Dia melakukan ini setiap hari, yang berbeda hari ini hanyalah karena semuanya ia lakukan sendiri. Kegiatan menyiapkan toko itu berakhir setengah jam kemudian. Dengan semangat Ia membalikkan sebuah papan di depan pintu, mengganti keterangan dari yang awalnya tutup menjadi buka. Setelahnya, ia berjalan menuju dinding tempat kalender kertas di gantung, lalu membalikkan halaman kertas kalender tersebut.

Jakarta, 01, April, 1972.

Si gadis berkepang dua itu meletakkan dua toples berukuran sedang di meja depan. Dua toples tersebut ia isi dengan camilan kesukaannya, permen jahe. Si gadis tersenyum kecil sambil melihat ke sekeliling toko. Tidak ada yang istimewa hari itu, dia memang selalu tersenyum seperti demikian.

Kring

Pintu toko terbuka bersamaan dengan berbunyinya lonceng kecil di atasnya. Dia menoleh, lantas tersenyum melihat siapa yang datang. "Selamat pagi, Laras si Tukang Tidur!" serunya menyambut kedatangan seorang gadis berambut pendek yang membawa payung besar. Di luar hujan. Gadis berambut pendek itu buru-buru menutup payung dan membuka jaketnya sambil tersenyum kikuk. "Aku minta maaf, Anna! Aku benar-benar nggak bisa bangun tadi subuh," ujarnya menyesal sambil berjalan menghampiri temannya. Anna menggelengkan kepalanya, "Tidak apa-apa."

Karena semua kue yang akan dijual telah diurus oleh Anna, maka tugas Laras berikutnya hanya menyapu dan membersihkan sisa-sisa kesibukan pagi hari toko ini. "Kamu tahu? Bagas ajak aku kencan sampai tengah malam. Aku nggak tahu cara nolak dia." jelasnya menyesal sambil menyapu lantai. Anna terkekeh pelan, ia tahu itu. Laras tak pernah bisa mengatakan tidak pada kekasihnya, bahkan untuk hal yang benar-benar tidak dia sukai. "Aku sudah pasrah kalau Bu Sinta mau potong gajiku," ucapnya pelan.

Waktu bergerak cepat tanpa terasa, pekerjaan Laras dari menyapu hingga mencuci piring sudah selesai. Ia merebahkan tubuhnya ke sofa kecil di sebelah Anna. Tadi malam cukup menyenangkan, ia dan kekasihnya menghabiskan waktu bersama mengelilingi pasar malam. Namun ia cukup menyesal berkencan hingga larut malam dan harus terlambat ke toko kue. Toko kue ini bukan milik mereka. Mereka hanya pekerja yang menjalankan salah satu usaha milik istri seorang saudagar kaya di Djakarta. Karena itulah, Laras merasa bahwa ia tak boleh bekerja seenaknya.

Laras menghela kecil, matanya memperhatikan jarum jam yang terus berputar. Alangkah cepat waktu berjalan, sekarang pukul 09.00. Belum ada pelanggan sama sekali. Biasanya, toko mulai ramai saat tengah hari. Namun tak jarang juga ada orang yang datang pagi-pagi.

Bosan hanya melihat jarum jam berputar-putar, Laras kini mengalihkan pandangannya pada Anna. Gadis berkepang dua itu sedari tadi duduk tegak melihat keluar. Dia jelas tidak sedang menunggu pelanggan biasa. "Siapa yang kamu tunggu?" tanyanya berbasa-basi. Anna menoleh sambil tersenyum kecil. Ia tahu temannya itu hanya berbasa-basi, "Kamu, 'kan, tahu."

Anna tidak sedang menunggu anak-anak kecil yang akan membeli kue lapis, bukan juga menunggu bapak-bapak pekerja yang akan datang untuk memesan wedang jahe atau kopi sambil bermain catur sebelum bekerja. Dia menunggu pelanggan spesial, yang selalu datang memeriksa keadaan toko, membeli permen jahe buatannya, juga menggetarkan hatinya.

Setelah setengah jam berlalu, pelanggan pertama mereka datang. Sekelompok bapak-bapak pekerja yang datang dengan papan catur mereka. "Kopi enam, ya, nduk," seru salah seorang kepada mereka. Laras mengambil enam cangkir kopi di lemari piring lalu meletakkan semuanya di meja. Ia memasukkan dua sendok makan bubuk kopi ke masing-masing cangkir. Anna menghampiri Laras dengan membawa sebuah teko berisi air panas, lalu menuangkannya ke semua cangkir. Setelah diaduk rata, enam cangkir kopi itu diletakkan di atas nampan dan diantar oleh Anna ke meja di mana sekumpulan pria paruh baya itu bermain catur. "Silakan," ujarnya saat meletakkan nampak dengan cangkir kopi itu di meja.

Unanswered Questions 1972Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang