09|Kontak Fisik Pertama

37 5 0
                                    

Agustus 1972

Hubungan Laras dan Bagas sedang tidak baik-baik saja. Setidaknya itu yang ditangkap oleh Anna saat Laras bercerita sambil sesenggukan satu bulan yang lalu.

Setelah selesai membantu Bu Nirma memindahkan barang-barangnya ke ruangan lain, dua gadis muda itu masuk ke kamar mereka. Awalnya Laras hanya diam. Gadis berambut pendek itu melepas aksesoris rambut dan menghapus dandanannya, sebelum akhirnya menangis sambil berjongkok di depan cermin.

"Aku...nanya...Bagas...marah..." adunya dengan suara tersendat-sendat.

"Dia bilang...nggak percaya...aku..." lanjutnya masih terisak. Kalimatnya makin berantakan.

Sambil menarik ingusnya Ia berusaha melanjutkan, memberitahu pada Anna tentang kekacauan yang Ia buat pada kencan mereka. Setiap Anna menghapus jejak air mata di pipi Laras, gadis itu kembali menangis dan membasahi pipinya.

Malam itu kamar mereka penuh dengan isak tangis Laras, si budak cinta yang baru saja pulang dari kencannya yang kacau.

"Ras,"

Suara Anna yang memanggil membuatnya tersentak dari lamunannya. Ia menoleh dan mendapati sahabatnya itu menatapnya sambil berkacak pinggang.

"Gara-gara Bagas, kamu nggak sadar sudah masukkan gula sebanyak ini ke gelas?" tegur Anna sambil menunjuk gelas di depan Laras dengan jari telunjuknya. Cangkir kecil itu telah penuh dengan gula pasir.

Laras terkesiap, lantas memindahkan beberapa sendok gula pasir ke cangkir-cangkir lain. Hampir saja Ia membuat pelanggan mereka meminum secangkir gula.

"Untung saja belum kamu seduh pakai air panas," Anna meringis membayangkan kemungkinan yang akan terjadi jika Ia tidak segera datang dan memeriksa dapur. Sejak pagi Laras yang biasanya tidak pernah kehabisan kata untuk mengomel tiba-tiba saja menjadi tak banyak bicara. Ia hanya mengeluarkan sepatah atau dua patah kata jika ditanya.

Lihat? Bukan hanya Anna yang tergila-gila pada perasaanya pada Galih hingga melamun sepanjang hari karena memikirkan lelaki itu. Laras pun demikian. Karena bagaimana pun, akan selalu ada rasa sakit yang mengiris relung setiap kali jatuh cinta. Kata awalnya saja jatuh, sudah pasti sakit.

Anna mengambil alih cangkir-cangkir teh itu dari Laras, "Biar aku saja, kamu tolong keluarin roti coklat yang aku panggang tadi, terus susun ke rak," ujarnya. Laras mengangguk, lantas berlalu pergi untuk melaksanakan perintah Anna. 

Toko sedang tidak sibuk. Hanya ada beberapa pekerja yang baru pulang dan sekarang tengah bermain catur. Ada juga sepasang kekasih yang tengah berbincang di meja sudut. Tidak seperti kencannya dan Bagas saat itu, dua sejoli itu tampak akur dan menikmati obrolan santai mereka.

Sial, lagi-lagi Laras teringat akan kencan mereka sebulan lalu saat tak sengaja melihat pasangan itu ketika Ia berjalan dengan membawa setumpuk roti coklat. Dengan bersungut-sungut Ia menyusun roti-roti itu ke dalam rak, tak peduli dengan tatanan yang tak beraturan tersebut.

Seandainya saja Ia bisa memahami sikap Bagas yang terkesan enggan berbicara banyak padanya saat itu, mereka tidak akan bertengkar. Mengapa dia tidak bisa memahami bahwa kekasihnya itu hanya sedang lelah dan berada dalam suasana hati yang buruk? Mengapa dia tidak bisa menahan mulutnya untuk tidak mengeluarkan pertanyaan yang terkesan menuduh itu? Dan yang paling menjengkelkan, mengapa pula Ia teringat dengan perkataan Jaka pada dua bulan lalu itu? Mengapa lelaki itu secara lancang menyelinap ke dalam pikiran Laras di tengah kencan mereka?

Ah, sejujurnya bukan itu yang paling menjengkelkan. Dirinya yang tiba-tiba teringat pada perkataan aneh Jaka saat kencan mereka, berada di nomor urut kedua dalam kasus pertengkaran ini. Dirinya yang selalu berusaha memahami, meminta maaf, dan mengalah pada Bagas tanpa adanya timbal balik, itu yang paling menjengkelkan. Mengapa perasaan ini begitu menekannya? Apakah salah jika Ia ingin memastikan bahwa hubungan mereka aman?

Unanswered Questions 1972Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang