03|Bunga Lili Putih, dan Pertanyaan Tanpa Jawaban

44 6 2
                                    

April 1972

Jangan pernah tidur di pagi hari jika tidak mau rezeki dipatok ayam. Entah darimana asal muasalnya. Pepatah itu tidak terdengar asing di telinga masyarakat Indonesia. Biasa diucapkan seorang ibu pada anak gadis dan bujang mereka yang masih bermalas-malasan di atas kasur saat pagi hari. Pepatah itu sering dilontarkan oleh Bu Nirma dan suaminya kepada anak-anak Panti.

Walau pepatah itu merupakan bentuk kepercayaan yang bersifat mitos, dan tidak ada dasar ilmiah yang mendukung, nyatanya untaian kalimat itu berguna. Ia menarik beberapa manusia malas untuk segera beranjak dari atas kasur dan pergi bekerja. Tidur pagi bukanlah kebiasaan yang baik. Seperti dua gadis muda di toko kue itu. Mereka sibuk kesanakemari menyiapkan toko yang akan dibuka sebentar lagi.

Laras menyusun tatanan kue, sementara Anna sibuk dengan permen jahenya yang baru ia keluarkan dari lemari es . Gadis berkepang dua itu menaburkan gula halus pada potongan permen jahe buatannya. Setelah semua permen telah terbalut gula halus, ia memasukkan semuanya ke dalam toples. "Selesai," pekiknya pelan sambil membawa toples permen itu ke tempat biasa.

"Ras, sudah jadi! Kamu nggak mau?" tawarnya pada Laras yang telah selesai menyusun kue. Laras menggeleng, "Daripada kamu kasih ke aku, lebih baik kamu simpan untuk pujaan hatimu. Siapa tahu dia datang lagi hari ini," ujar laras sambil mengedipkan satu matanya ke arah Anna. Anna tertawa, kemudian memasukkan satu permen jahe ke dalam mulutnya, "Dia sudah datang kemarin, nggak mungkin dia datang dua kali seminggu," jawabnya sambil menutup toples permen jahe.

Toko sudah dibuka. Tak butuh waktu lama, mereka mulai sibuk. Diawali dengan rombongan pekerja yang datang dengan papan catur, hingga anak-anak dengan seragam sekolah. Kali ini, Anna tak lagi kekurangan fokus karena menunggu Galih yang tak kunjung datang. Lelaki itu sudah datang kemarin. Itu berarti, dia harus menunggu selama satu minggu untuk bertemu dengan lelaki itu lagi.

Anna meletakkan dua cangkir kopi hitam dan segelas es cendol di atas nampan, juga mengambil beberapa kue yang dipesan seperti dadar gulung, klepon, dan donat. Saat hendak mengantar seperangkat pesanan itu, matanya tertarik oleh tempat sampah yang sudah penuh. Matanya kemudian mengedarkan pandangan ke segala penjuru, hingga ia melihat temannya yang baru selesai mencatat pesanan pelanggan mereka. "Laras, tolong buang sampah, ya! Biar aku yang mengantar pesanan bibi-bibi di sana," ujarnya pada Laras yang disambut anggukan persetujuan, "ini catatannya", setelah memberi selembar kertas kecil pada Anna, Laras segera bergegas membuang sekantung sampah keluar.

Gadis dengan rambut pendek itu tidak menyangka jika kantung sampah bisa seberat ini. Dengan susah payah ia mendorong pintu belakang toko menggunakan kaki, dan keluar dengan langkah tertatih-tatih karena membawa beban yang berat. Ayolah, menerima bualan dan janji manis pacarnya saja Ia tidak sanggup, apalagi membawa sekantung sampah besar nan penuh sendirian. Laras berhenti berjalan dan membiarkan plastik sampah itu menempel di tanah sejenak. "Astaga, kenapa berat sekali, sih?" gerutunya sambil menendang pelan plastik sampah.

Tuhan itu maha mendengar, Ia selalu mendengar keinginan dan harapan hamba-Nya, sejauh apa pun itu terbersit dalam hati. "Mau saya bantu?"

Suara itu membuat Laras reflek menoleh, dan tanpa sengaja bertemu tatap dengan lelaki menyebalkan dengan motor bebeknya yang mereka temui kemarin. Ada Jaka di sana, melirik Laras tanpa tersenyum. Helm biru masih terpasang di kepalanya. Mungkin karena tersiram sinar matahari, wajah lelaki itu bercahaya, tampak sedang menawarkan kebaikan "Mau saya bantu atau tidak?" ulangnya sekali lagi, yang kemudian membuat lamunan Laras buyar.

Dengan gerakan kepala ia memberi kode pada Jaka untuk mendekat padanya. "Bawa sendiri saja bisa, 'kan, Mas?" ujar Laras yang dihadiahi pelototan mata dari Jaka. "Ya jangan begitu, dong, mbak. 'Kan bisa sama-sama." Laras menepuk helm biru itu, "Laki-laki itu harus kuat! Masa bawa plastik sampah saja harus berdua?" ledek Laras. Jaka tidak ingin memperpanjang dialog tidak penting dengan gadis itu. Cukup tadi malam dia dibuat darah tinggi. Dengan segenap tenaga ia mengangkat plastik sampah itu dan membawanya ke tempat sampah besar di dekat sana. Lelaki itu berjalan kembali ke arah Laras setelah membuka helmnya. "Ringan sekali padahal. Lemah kamu!" ejeknya kembali lalu segera berlalu meninggalkan Laras dan masuk ke dalam toko kue.

Unanswered Questions 1972Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang