Santri iku madep dampar
***
"Nanti biar saya sama anak saya yang ambil kentangnya di desa. Tapi mungkin agak sorean di sana, Mbak.”
Andin mengangguk mengerti. Ia sama sekali tak masalah dengan itu. “Nggak apa-apa, Pak. Nanti saya bantuin angkatin kentangnya ke mobil.”
Kemudian, Andin berpamitan dari kediaman Pak Wirid. Orang yang mau membeli kentang dari hasil kebunnya. Beliau adalah pembeli baru. Pedagang lama sudah gulung tikar lantaran meninggal dan anaknya tidak ada yang mau meneruskan usaha. Sayang sekali. Tapi semua orang memiliki pilihan masing-masing, bukan?
Sebenarnya, bisa saja Andin hanya bertransaksi lewat ponsel, namun ada beberapa kendala yang membuatnya mau tak mau harus turun gunung dan pergi ke daerah perkotaan seperti ini.
Yeah, rezeki memang mestinya dijemput, bukan hanya ditunggui.
Mengenakan helm, Andin melajukan motor scoopy-nya menuju jalan raya yang tak jauh dari gang rumah Pak Wirid. Siang di akhir bulan sya’ban apa memang selalu terik begini ya? bahkan belum sepuluh menit Andin berkendara, ia sudah ingin minum air dingin. Terlebih tak jauh di depan sana, ada penjual es buah. Pas sekali dengan hawanya. Andin memutuskan menepikan motor dan membeli minuman itu, tak lupa, ia juga membungkuskan untuk ibunya.
Andin menyeruput minumannya seraya memasukkan dompetnya ke dalam tas. Tapi seseoranng menyenggol lengannya hingga benda itu terjatuh.
“Mbak, bisa minta tolong? Temen gue mau melahirkan, tolong bantuin!”
“Gimana, Mas?”
Bukannya menjelaskan dengan lebih detail lagi, lelaki penuh tato itu malah menarik lengan Andin dengan terburu-buru. Gugup? Panik? Takut?Tentu saja. Semua itu berkumpul menjadi satu. Andin bahkan melambaikan tangan ke penjual es buah agar membantunya. Tapi memang benar, jangan berharap pada manusia. Penjual es itu acuh dan memilih meladeni pembeli lainnya.
Ingin menangis rasanya. Tapi itu pasti terlihat memalukan. Akhirnya mencoba berani, Andin menatap sekitar.
Suasana tak jauh dari motornya berhenti begitu kacau balau. Kenapa tadi ia tak menyadarinya?
Andin di bawa ke gerombolan orang yang penampilannya tak jauh berbeda dari lelaki itu. di tengah-tengah sana, ada seorang perempuan dengan perut buncit dan nampak kesakitan. Benar, sepertinya ada yang mau melahirkan.
“Ini kenapa nggak dibawa ke rumah sakit saja?” tanya Andin ikut panik.
“Nggak punya bpjs, Mbak. Mbaknya bidan, kan? tadi gue lihat keluar dari gang yang ada bidannya.”
Astaghfirullah!
Bolehkah Andin mengumpat?
Andin sampai ternganga dengan alasan ia ditarik begitu saja kemari. Lelaki ini di luar nalar. “Eh, Semar! Lo bawa siapa itu?” seorang lelaki salah satu dari gerombolan, menyapa tak habis pikir.
“Bidan!”
“Hah, Mbaknya bener bidan?” lelaki itu bertanya.
Menggeleng keras, “Nggak! Saya bukan bidan.”
“Udah gue duga. Mbak, maaf ya. temen saya radak sengklek emang. Gue tuh nyuruh elo ngehentiin mobil dan minta tolong bawa Riftah ke bidan, Semar!”
“Lha, makanya kalau nyuruh itu yang jelas, Bagong!”
Andin tak mengerti apa yang mereka perdebatkan. Yang jelas, jiwa kemanusiannya mendadak bangkit ketika melihat wanita itu kesakitan. Padahal dia akan melahiran, tapi bukannya lekas mendapat pertolongan, orang-orang ini malah ribut dan panik sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mari Melangkah Bersama
SpiritualAndini Puspa Rahayu memiliki trust issue tentang laki-laki. Tetapi ibunya begitu mendamba melihatnya berdiri di pelaminan bersama calon imamnya. Sedangkan, Azlan Al Qoddafi sangat antipati terhadap orangtua. Namun, ia malah jatuh hati pada Andin yan...