6# Sahur

7 1 0
                                    

"Andin, rantang tadi yang kita bawa ke penjara buat bapak ada di mana? Kok ibu cari-cari nggak ketemu?" Andin melirik ibunya yang tengah kelimpungan mencari makanan.

"Sudah Andin kasih ke orang lain. Dia lebih membutuhkan, Bu."

Setelah selesai menyrduh teh untuk sahur, Andin membawa dua gelas itu ke meja makan kecil di dekat dapur. Tempat yang biasanya digunakan Andin beserta ibunya untuk menyantap makanan. Jam sudah menunjukkan pukul setengah empat fajar. Maka dari itu, Andin bersiap mengantarkan camilan untuk Pak De-nya yang tengah membacakan lantunan untuk membangunkan orang lain sahur.

"Kenapa kasih orang lain, Ndin. Itu kan buat bapak," protes ibu Andin.

"Terus ibu mau kasihnya ke bapak gimana? Bapak udah pergi dari penjara tanpa sepengetahuan kita. Dia lebih memilih istri mudanya ketimbang ibu."

Entah kalimat yang diucapkan Andin itu terlalu kasar atau bagaimana. Setelah mendengar itu, wajah itu berubah pias. Beliau memilih mengambil lauk dan juga nasi untuk mereka berdua.

Andin menggelengkan kepala. Sama sekali tidak menyesal telah berbicara demikian. Itu jelas fakta. Dan bagi Andin, pelan-pelan ibu harus bisa menerima semua itu. Sama seperti dirinya.

Andin mengambil trimos berisi air panas dan juga beberapa bungkus kopi sachet. Tak lupa, ia juga memasukkan beberapa gorengan di dalam wadah untuk makanan. Kemarin pagi, sewaktu budhe-nya memberikan Andin kerupuk nasi yang belum kering, beliau juga meminta untuk membuatkan gorengan dan juga kopi untuk Pak De Farid. Katanya, Budhe tidak bisa melakukan sebab tak enak badan.

Andin tak masalah. Toh, mereka juga selama ini banyak membantu keluarganya. Mulai dari biaya sekolah sampai pesantren juga. Bagi Andin, mereka sudah dianggap sebagai orangtua kedua untuknya.

"Andin anter ini ke masjid dulu, Bu. Assalamualaikum."

Tak ada jawaban dari ibunya sampai pintu tertutup. Menghela napas panjang, Andin melangkah menuju masjid yang hanya berjarak satu rumah dari tempatnya. Iya, antara masjid dan rumahnya hanya terhalang oleh rumah Pak De Farid. Maka dari itu, Andin juga mau-mau saja disuruh mengantar kopi dan gorengan ke sana.

"Ndin, kamu nganterin gorengannya?" Budhe Fatimah--istri dari Pak De Farid berpapasan dengan Andin sewaktu Andin hendak masuk masjid.

"Budhe nggak ikut sahur bareng Pak De?"

"Nggak dulu, soalnya kepala Budhe masih pusing. Ini tadi cuman kirim makanan. Coba aja kalau Budhe punya anak, pasti anaknya yang Budhe suruh buat ke sini."

Budhe Fatimah tersenyum sendu.

"Budhe kan bisa nyuruh Andin."

"Iya. Ini buktinya Budhe sudah ngerepotin kamu. Sudah ya. Kepala Budhe makin pusing." Budhe pamit pergi.

Benar, Budhe dan Pak Dhe tidak memiliki anak. Dulu sekali, mereka ada. Jika masih hidup, mungkin anak itu akan menjadi kakak sepupu yang baik untuknya. Ah, sudahlah. Sebaiknya Andin bergegas mengantarkan cemilan sahur ini.

Saat sudah tiba di tengah masjid, Andin bisa melihat Pak De nya sudah menyelesaikan lantunan bacaan-bacaan untuk membangunkan orang sahur. Entah apa namanya. Andin lupa. Di samping Pak De, ada duo Semar dan Bagong yang tidur menyender di tembok. Padahal di depan mereka ada makanan yang sudah disiapkan oleh Budhe.

"Ndin, kamu buat apa ke sini? Udah sahur?"

Andin menyerahkan wadah gorengan juga tremos bersisi air panas. Tak lupa juga beberapa sachet kopi. Sebenernya Andin agak sangsi. Untuk orang sahur, apa normal mengonsumsi kafein macam ini?

"Andin belum sahur. Andin ke sini bawain gorengan sama teh buat pak De dan anak didik Pak De."

Padahal Andin bersuara keras. Tapi mereka yang sedang tertidur, sama sekali tidak merasa terganggu.

"Oalah, makasih. Malah ngerepotin. Sini ikut makan bareng-bareng. Ini Budhe bawain Pak De makanan buat sahur."

Andin menggeleng, "nggak dulu, Pak De. Ibu sahur sendirian di rumah. Kasihan."

"Oh gitu. Ya udah. Makasih ya. Dan ... Kalau boleh Pak De tahu, bagaimana kabar bapakmu?"

Andin melirik Semar dan Bagong yang masih tertidur. Matanya lantas menatap Pak De nya dengan hampa. "Entahlah. Andin sama Ibu juga nggak tahu."

"Lho, bukannya tadi pergi nengokin?"

"Iya niatnya begitu. Tapi semuanya gagal. Bapak sudah bebas. Dan dia lebih memilih pulang ke istri keduanya."

"Lailaaha Illa Allah."

Pak De Farid tampak menggelengkan kepala. Mungkin, dia sendiri tidak habis pikir, bagaimana adiknya bisa menjadi orang macam itu? Sayangnya Andin tidak berniat membahas masalah itu lagi. Cukup hanya itu yang Pak De tahu.

Maka dari itu, Andin pamit undur diri. Tetapi, melihat toa yang membunyikan sirene imsak di dekat mimbar imam, Andin jadi terpikirkan sesuatu.

Ia mengambil benda itu dan membunyikannya tepat di depan dua orang itu. Sengaja Andin memilih suara yang tidak terlalu keras mengingat ini belum waktunya imsak.

"Wiiiuuuu."

Senyum Andin merekah saat melihat mereka terbangun dengan kelimpungan. Mereka terperanjat dari tidur nyenyak. Wajah mereka pucat pasi akibat terkejut. Andin agak merasa bersalah. Tetapi, alih-alih meminta maaf, ia lebih memilih berlari pulang. Takut apabila dikeroyok oleh bocah-bocah tak tahu aturan itu.

***

Jangan tiru tingkah Andin ya gaes ya. Soalnya, kalau orang tidur konon katanya nyawanya sedang jalan-jalan. Nah, kalau dikagetin pas tidur, kalau nyawanya nggak balik, gimana?

Dan dalam kesehatan juga sama sekali nggak baik.

Oke, segitu dulu dari Zafa.

Jumat, 22 Maret 2024

Salam sayang,

Istri Sah Na Jasmine. Zafa Diah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mari Melangkah BersamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang