2# Sholat Jamaah

13 1 0
                                    

Jangan salahkan Andin yang refleks memanggil mereka dengan nama itu. faktanya, sebutan itulah yang terngiang begitu saja karena mendengar perdebatan random mereka siang tadi.

“Wah, Mbak Andin masih inget kita ternyata.” Si Semar bertepuk tangan meriah. Tangannya memegang dompet kecil berwarna pink. Sepertinya Andin tidak asing dengan dompet itu.

“Iya, iya. Biasa aja kali. Girang banget perkara—“

“Tunggu, itu bukannya dompet saya?” tanyanya ragu. bagaimanapun Andin takut, pertanyaannya malah terkesan menyudutkan mereka telah mencuri bendanya.

“Iya, itu punya Mbak Andin. Katanya mereka mau mengembalikan dompet itu ke Mbak Andin secara langsung. Makanya mereka ikut saya ke sini.”
Bukan salah satu dari Semar maupun Bagong yang menjawab. Melainkan Pak Wirid yang unjuk suara. Ah, Andin bahkan nyaris melupakan keberadaan beliau.

“Begitu.”

Semar memberikan dompet itu kepadanya. Tentu saja, Andin lekas menerima benda itu. Ia bahkan tanpa sadar mengecek benda yang biasanya untuk menyimpan uang. Bukan apa-apa. Andin hanya mencemaskan kartu-kartu penting. Seperti KTP dan SIM. Ia takut jika sampai kehilangan salah satunya. Sebab, mengurus akta kehilangan kartu-kartu itu teramat sulit.

“Ah, masih lengkap,” ungkapnya penuh syukur.

“Kita nggak ambil apa-apa kok, Mbak,” seruan Semar membuat Andin lekas menutup dompetnya.

Ia memasang raut sungkan.

“Kalau niat kami memang mau ambil tuh isi dalam dompet, kita nggak bakalan anter benda itu susah payah ke sini,” tambah Bagong terdengar jengkel.

“Saya nggak bermaksud gitu kok, Mas.”

Andin tentu saja tak enak. Tadi ia hanya berceletuk sebab senang dompetnya kembali. yeah walalupun Andin bahkan tidak menyadari kalau dompetnya menghilang.

“Udah, jangan bertengkar.” Pak Wirid mencoba melerai. “Mbak Andin pasti nggak bermaksud gitu kok. kalian jangan terlalu diambil hati. Terus, dari pada debat, lebih baik kita cepet angkutin kentangnya ke mobil, Mbak. Udah semakin sore ini harinya.”

Andin mengangguk kaku. Ia memilih mematuhi perkataan Pak Wirid dan menunjukkan jalan ke perkebunan kentangnya. Di sana, ada terpal berwarna biru yang Andin gunakan untuk menutupi kentangnya.

Sayuran ini sudah dipanen kemarin. Sengaja didiamkan di sini karena belum bisa membawa ke rumah. Kondisi ibu Andin tidak begitu sehat. Dan Andin tidak cukup kuat untuk menggotong seorang diri ke rumah. Jangan bilang minta tolong kepada orang lain, jika tidak terlalu kepepet Andin enggan memohon bantuan.
Bahkan pada orang terdekat.

“Mbak, ini ditimbang dulu ya. saya juga udah bawa timbangannya.”

Pak Wirid menurunkan alat timbangan. Setelah beberapa waktu memindahkan dan menimbang kentang. Tepat sebelum adzan maghrib berkumandang, semuanya telah selesai. Total, ada sekitar tiga puluh kilo yang dihasilkan ladang. Pak Wirid membayar sesuai dengan harga yang sudah disepakati Andin dan beliau sebelumnya.

“Pak, Mas-mas, ini sudah mau maghrib, istirahat sebentar ya di rumah saya.”

“Nggak, Mbak. Kita mau mampir sholat saja di masjid sana.”

“Oh, baiklah kalau begitu. terima kasih, Pak Wirid sama mas-nya.” Andin mengangguk pada anak Pak Wirid yang sedari tadi hanya diam. Entah terlalu cool atau watak dasarnya memang irit bicara, yang Andin dengar dari tadi hanya celotehan Semar dan Bagong. Iya, Andin baru mengingat sesuatu.

“Untuk Mas Semar sama Mas Bagong, mau langsung ikut pulang sama Pak Wirid?”

“Kenapa?” Semar membalas. “Lo mau kita nginep di rumah lo?”

Mari Melangkah BersamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang