5# Sudah Bebas

9 1 0
                                    

Tidak seperti yang diharapkan Andin, siang ini hujan sudah berhenti. Matahari nampak menyinari bumi sekalipun mendung kadang menghalanginya. Namun, setidaknya cuaca sudah lebih bersahabat dari pada pagi tadi.

Andin memarkirkan motornya di rumah tahanan. Sesuai intruksi ibu, mereka kini datang berkunjung ke bui ayahnya. Sekitar sepuluh tahun yang lalu, Andin benar-benar tak mau bertemu dengan orang yang selama ini dipanggil bapak. Tapi, seiring bertambahnya usia, Andin mulai berdamai dengan keadaan.

Memang, mungkin sulit. Tapi bukan berarti tidak mustahil. Banyak yang bilang waktu akan menyembuhkan luka. Dan Andin, hanya tengah membuktikannya.

"Pak, saya mau bertemu dengan tahanan atas nama Mansyur Ali." Ibu Andin mengarahkan rantang makanan kepadanya. Beliau duduk di depan polisi yang bertugas sebagai penerima pengunjung.

Andin mengamati sekeliling. Hari ini ramai orang berkunjung. Mungkin karena menjelang bulan puasa, jadi semuanya memanfaatkan momentum ini.

"Maaf, Bu. Tahanan atas nama Mansyur Ali sudah bebas tiga hari yang lalu. Hari kebebasannya diajukan karena mendapat remisi dari pemerintah."

"Apa maksud, Bapak?" tanya Andin setelah sekian lama mereka sibuk mencerna apa yang telah dituturkan oleh polisi tersebut.

"Tahanan atas nama Mansyur Ali sudah bebas."

"Lalu, kenapa tidak mengabari keluarga?"

"Kami sudah mengabari dari tiga hari menjelang Pak Mansyur dibebaskan. Nama yang tercantum di sini adalah Ibu Dewi Kusuma. Apakah itu Anda?"

Bukan. Nama ibu Andin adalah Kartika Dwi Rahayu. Hanya ada orang di kepala Andin yang kemungkinan besar adalah pemilik nama itu.

"Ibu, kita pulang aja," ajak Andin. Tak tega melihat ibunya menjadi murung dan menyedihkan. Bagi Andin, ibunya adalah wanita paling tegar dan sabar.

Memang, perempuan mana lagi yang masih tetap tabah menerima suaminya selingkuh dan dipenjara?

Perempuan mana lagi yang begitu setia menemui suaminya setiap bulannya sekalipun kedatangannya sering kali ditolak?

"Apa ... dia sehat saat keluar dari penjara?"

"Bu!"

Andin tak habis pikir. Kalimat pertama yang ditanyakan oleh ibunya adalah keadaan ayahnya setelah sekian waktu terdiam.

"Ndin, seenggaknya kita tahu keadaan bapakmu. Sehat atau nggak. Dia juga sudah bebas, itu kabar baik, kan?"

Sungguh, Andin tak bisa berkata-kata lagi. Ia memilih menyingkir dan kembali ke parkir motor. Nyaris saja Andin ingin membanting dan membuang makanan di rantang ini.

Melihatnya, Andin jadi ingin menangisi nasib ibunya yang teramat miris. Untuk apa tetap bertahan dengan lelaki yang tidak dia cintai? Bukankah lebih baik bercerai sedari dulu? Setidaknya ibu tidak akan terikat baik secara negara dan agama dari lelaki yang disebutnya bapak itu. Andin muak!

"Mbak, kalau nggak suka sama makanannya, kasih kita aja. Kita belum makan dari tadi pagi."

Andin melirik dua bocah yang wajahnya mirip. Kembar kah? Tapi yang satu macam laki-laki dan yang lainnya perempuan. Mereka berpenampilan seperti Semar dan Bagong sewaktu pertama kali bertemu.

Hah, kenapa hidup Andin harus bertemu dengan orang-orang ini?

"Kalian belum makan?"

"Iya. Kita berdua laper."

"Ini."

Andin menyerahkan rantang yang seharusnya diberikan kepada bapaknya untuk bekal sahur nanti fajar. Tapi, mengingat orang itu sudah tidak ada di sini, akan lebih baik orang yang lebih membutuhkan yang menerima. Contohnya kedua anak ini.

Mari Melangkah BersamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang