4# Tentang Ayah

8 2 0
                                    

“Ini beras sama telur kasih ibu. Buat sahur lusa nanti.”

Andin menerima bingkisan berisi barang-barang yang disebutkan oleh Pak De Farid tadi. sebenarnya Andin terus berpikir alasan apa yang cocok untuk mengimbangi Pak De nya apabila ingin menanyai ketidak sopanannya dengan Semar dan Bagong di Masjid. Tapi syukurlah. Alasan Pak De menyuruhnya ikut karena mau memberikan ini.

“Terima kasih, Pak De.”

Menghela napas lega, Andin tersenyum penuh. Ia hendakk pamit undur diri mengambil mukena yang masih tertinggal di masjid. Namun, agaknya dugaan Andin ketika berjalan ke sana cukup besar. Melihat Pak De nya menyuruh untuk duduk di kursi ruang tamu.

“Pak De tau mungkin menurutmu perilaku Azlan dan Razif itu terlalu sembrono. Tapi, Ndin. Kamu tidak boleh memperlakukan mereka seperti itu. mempertanyakan agama seseorang itu nggak sopan. Mereka masih sama-sama belajar. Jadi, jangan begitu lagi, ya?”

Andin mengangguk patuh.

“Andin mau main dulu? Itu Budhe lagi di belakang mau bikin kerupuk nasi katanya.”

Andin menggeleng. Ia masih cukup malu berhadapan dengan Pak De Farid akibat tingkah lakunya. Seharusnya Andin tidak perlu terbawa suasana begitu saja.

“Andin langsung pulang aja, Pak De. Kasihan ibu di rumah sendiri.”

“Ya udah.”

Andin menghela napas  gusar. Ia keluar dari rumah Pak De dengan menenteng bingkisan itu. matanya tak sengaja bersitatap dengan Semar … atau perlukah mulai sekarang Andin memanggilnya dengan nama aslinya.

Nama yang ia perkenalkan kepada Andin beberapa waktu lalu. “Azlan Al-Qoddafi.”

Azlan melambaikan tangannya dan berkedip genit setelah dua detik mereka saling memandang. Haish, rasa-rasanya Andin masih enggan menyebut bocah itu dengan nama yang kurang cocok menurutnya.

“Memanng, Semar dan Bagong terdengar lebih baik.”

***

Perkampungan Andin berada di kawah sebuah gunung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perkampungan Andin berada di kawah sebuah gunung. Hawa di sana masih cukup asri sekalipun tak sebersih ketika ia masih kecil dulu. banyak pohon besar menjulang di perkebunan. Menambahkan kesan indah sekaligus horror secara bersamaan. Andin selalu menikmati hawa sejuk di kebun miliknya.

“Padahal besok udah mulai puasa. Tapi kok cuacanya hujan begini ya, Bu?” Andin melemparkan pertanyaan kepada ibunya untuk mengisi keheningan di rumahnya. Matanya fokus memandang tanamanan di depan rumahnya yang tengah diguyuri hujan.

Mereka hanya tinggal berdua selama beberapa tahun terakhir. Bapak yang saat kecil menemaninya, kini berada jauh dari mereka. nasib memang tapi Andin sama sekali tidak mau mengingatnya.

“Iya. Semoga siang nanti sudah berhenti hujannya. Kita harus jenguk bapakmu dipenjara.”

Ibu Andin meletakkan kain lap kotor di atas meja. Beliau menatap foto pernikahannya serta foto keluarga mereka ketika masih lengkap. “Uhuk!” Entah karena debu atau apa, ibu Andin terbatuk-batuk sejenak.

Mari Melangkah BersamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang