Selama ini, hidup Andin itu datar dan terkesan membosankan. Jadi, hal-hal yang cukup membuatnya merasa syok, tentu saja hanya beberapa.
Yang pertama, keberanian temannya dalam mengungkapkan kasus percintaan gus-nya dengan orang terdekat anak itu sewaktu di pondok dulu. Yang kedua, baru siang tadi terjadi dan yang terakhir adalah tepat saat ini.
Andin tak bisa berkata-kata melihat tingkah lelaki yang dari luarnya pasti sudah akil baligh. Tetapi, bisa-bisanya dia sholat lebih parah dari anak didiknya di TPQ?
“Andin, kamu masih di sini? Mau ngajar ngaji ya?”
Di masjid kampung Andin memang cukup banyak anak-anak kecil yang mengaji sehabis sholat maghrib. Andin kadang-kadang membantu. Walau tidak setiap hari.
“Pak De, Pak De yakin kalau mereka ini islam?” bukannya menjawab pertanyaan Pak De-nya, Andin malah menanyakan hal yang tidak berhubungan.
“Heh, penampilan kita emang begini. Tapi jangan salah ya, kita itu muslim. Bener ‘kan, Mar?”
“Iya!” Semar mengangguk setuju dengan perkataan Bagong.
“Tapi kenapa tadi sholatnya nggak menghadap kiblat malah lihat saya? Belum lagi tadi kamu ketinggalan dua rukun sholat secara berurutan.” Jemari Andin menunjuk Semar.
Sebagai guru, jujur Andin tidak bisa melihat orang—apalagi yang kelihatannya sudah dewasa dan mengaku muslim, malah mempermainkan sholat. Andin selalu dididik untuk menjalankan syariat agama dengan baik tertib. Maka dari itu, Andin juga melakukannya dengan para muridnya. Lalu, apa yang dilihatnya sekarang? Manusia yang bahkan jauh berbeda dengan orang-orang yang selama ini dikenalnya. Baik dari sikap, penampilan dan tutur bicara. Segalanya tak sama.
“Ndin, udah. Jangan menghakimi orang kayak gitu. Kalau mau ngajar ngaji, tuh anak-anak dibilangin buat ambil buku ngajinya. Di luar juga sedang hujan. Biasanya lantai luar jadinya licin.”
Pak De mencoba melerai. Lelaki paruh baya itu lekas memberikan Andin tugas hingga tidak memiliki waktu untuk mengurusi sholat orang lain.
Tentu saja, Andin tak terima. Ia masih ingin mengomeli dua mas-mas amburadul itu. tapi, benar apa yang dikatakan oleh Pak De. Jika Andin tidak lekas menertibkan anak-anak. Yang ada, mereka akan celaka akibat bermain di luar dengan keadaan lantai licin.
“Baik, Pak De.”
Andin menuju keluar pintu. Sesuai intruksi, Andin memerintah anak-anak untuk mengambil buku ngaji mereka masing-masing dan memulai warah.
Hujan memang tidak deras. Namun tetap saja, masjid tidak memiliki plafon untuk mengurangi curah air masuk akibat hujan dari luar. Merasakan angin cukup dingin, Andin meminta anak-anak untuk segera merangsek masuk ke tempat sholat jamaah perempuan.
“Bu Andin, aku udah hafal surat Al-Falaq lho.”
Andin tersenyum seraya membuka buku ngaji anak lelaki bergigi ompong itu. “Oh ya? coba sini Bu Andin mau dengar.”
Untuk sesaat, pikiran Andin yang sedari tadi hanya dipenuhi oleh sisi negative perihal Semar dan Bagong teralihkan pada anak-anak yang mengaji di depannya. malam ini jumlahnya tidak sebanyak biasanya. Mungkin karena hujan atau juga bisa saja sebab sebentar lagi puasa.
Umumnya, ketika menjelang bulan puasa, anak kecil akan dibebaskan untuk tidak mengaji oleh orangtua masing-masing. Tetapi apabila anak itu sesuka itu dengan kegiatan mengaji, mereka akan tetap datang ke masjid tanpa disuruh.
Sekitar menjelang adzan isya’ kegiatan warah dengan anak-anak kampungnya sudah selesai. Andin hendak mengambil wudhu. Dan ketika sampai ke tempat wudhu, lagi dan lagi, Andin kembali melongo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mari Melangkah Bersama
SpiritualAndini Puspa Rahayu memiliki trust issue tentang laki-laki. Tetapi ibunya begitu mendamba melihatnya berdiri di pelaminan bersama calon imamnya. Sedangkan, Azlan Al Qoddafi sangat antipati terhadap orangtua. Namun, ia malah jatuh hati pada Andin yan...