"Hidup tidaklah sempurna, setiap kegagalan yang Anda alami sebenarnya adalah momen belajar. Mereka mengajarkan kita bagaimana tumbuh dan berkembang."
Phillipa Soo, aktris dan penyanyi
______________________💫💫💫_____________________
"Buntung, buntung..." seru sekelompok anak laki-laki berseragam merah putih yang mengerumuni gadis kecil seumuran mereka. Gadis kecil yang malang, menunduk, mendengar sebutan yang tak disukainya terus menggelegar di telinganya. Entah apa yang ada di dalam benak mungilnya.
"Mengapa? Apa salah ku pada kalian?" Suaranya lembut dan halus sangat kontras dengan wajahnya yang memerah marah.
"Wah... Apa yang kau lakukan? Aku toh gak ikutan mengolok mu. Kenapa kamu memukulku? Sakit tahu!" raung seorang anak laki-laki sedikit gemuk berkulit putih sambil memijat pelipisnya yang berdenyut.
Gadis kecil yang impulsif, matanya yang kabur perlahan jernih melihat sekelilingnya dengan linglung. Dia menatap kembali ke anak yang tanpa sengaja dipukulnya menggunakan sepatu kesayangannya. Dia tidak mau, sebenarnya tidak ingin melakukan itu, tapi dia juga sangat sedih dan marah. Padahal dirinya memiliki dua tangan utuh. Apa yang salah?
Bingung, gadis kecil itu melarikan diri dari kelompok itu. Berlari, berjalan, perlahan melangkah menuju tempat persembunyiannya, rumah.
"I-ibuuu."
***
"Harapan adalah akar dari semua rasa sakit hati, William Shakespeare. Hmm... Sakit hatiku, galau jiwaku... Och." Sebuah jari telunjuk menyodok miring kepala Joza, menghentikan tingkahnya yang asik sendiri.
"Apa sih!?" Joza mengalihkan perhatiannya ke orang yang duduk disebelahnya. Suara Joza cukup mengalihkan perhatian secuil orang didekatnya.
"Sst... Perpus, ganggu orang," bisik Ziva si pemilik jari sembari melihat sekeliling. Lagian dia juga agak terkejut dan malu dengan tingkah Joza yang tiba-tiba berbicara dan menyanyi ditengah suasana tenang dan sepi ini.
Joza membulatkan matanya dan mencoba menajamkan telinganya, "Eh... Apa, apa?"
Apapun, bertindak lebih tepat daripada hanya berbicara. Jadi, Ziva membalasnya dengan membuat gestur membaca, menunjuk tulisan buku yang dipegangnya lalu meletakkan tangannya didekat hati.
"Eyy, perpus lagi sepi juga. Santai, santai," ucap Joza merendahkan suaranya, melambaikan tangan kirinya lalu melanjutkan membaca buku. Warna sampulnya didominasi warna oranye dengan judul yang tercetak besar dan tebal Hidup Bahagia Itu Pilihan, yang katanya menjadi buku panutan hidupnya.
Ziva hanya bisa mengeluh dalam hati tentang kelakuan temannya yang random. Mengalihkan pandangannya sejenak, melalui jendela kaca perpustakaan lantai 4 ini dia bisa melihat sebatang pohon tua dan tanah yang tertutupi rumput kering. Dia mengerutkan kening lalu memutuskan harapannya pada dunia nyata dengan menenggelamkan diri ke dalam dunia buku lagi.
Cahaya matahari menyinari jendela mati yang besar dan masuk ke dalam ruangan. Cahaya dan bayangan yang bergantian membuat suasana perpustakaan terlihat semakin kosong dan sunyi.
"Takut banget tadi aku, sumpah. Tatapan ibunya bikin aku panas dingin."
"Gapapa, yang lalu biarlah berlalu."
"Tapi, aku hah-hoh aja ditanyain tadi. Takutnya diinget, terus nilaiku. Ow, my God!"
"Kalau soal nilai yang penting kita gak pernah absen, minimal pasti Bu Dewi kasih B. Oh iya, kata kating, pernah ada yang gak masuk sekali dikelasnya, apa coba? Dikasih nilai C sama Bu Dewi. Parahnya disampein di kelas sewaktu orangnya berangkat lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Paleontologi
Random"Laki-laki? Sepertinya ada kesalahan sewaktu kamu didata" "Saya tidak begitu paham Pak, hehe" Dulu, ada seorang anak yang tengah menginjak usia 13 tahun merenungkan suatu kesalahan bukanlah tanpa perbaikan. Tokoh penemu lampu pijar, Thomas Alva Edis...