02. ZIVA: MERAH

17 0 0
                                        

"Masa kecil harus riang, bermain di bawah sinar matahari, tidak menjalani mimpi buruk dalam kegelapan jiwa."

Dave Pelzer, penulis otobiografi & self help

_____________________🌑🌑🌑_____________________

"Lihat dia Eni, lihat. Pemalas ini membuatku gila setiap hari. Apa yang bisa saya lakukan sebagai ibunya? Kata-kataku bahkan selalu dibantah." Wanita paruh baya menunjuk gadis kecil yang berdiri kebingungan.

Dimanakah kesalahannya? Haruskah diceritakan ke orang luar. Entah kenapa gadis itu merasa sangat malu, sedih, dan marah. Mendongakkan kepalanya, tetangganya menatap dirinya. Gemetar, dia menundukkan kepala. Tubuhnya terasa terbakar oleh sorot mata tetangganya. Percakapan antara keduanya dimulai lagi. Gadis itu tidak begitu paham apa yang dibicarakan, telinganya seperti saringan. Lagipula, dia tidak ingin mendengar kata-kata wanita paruh baya itu.

Tetangganya pergi, wanita itu menghampirinya, menggenggam kuat kedua bahunya dan dengan lembut berkata, "Nak, kamu lihat. Tidak ada yang lebih pengertian selain ibumu. Orang-orang diluar sana tidak akan peduli padamu. Jadi, dengarkan saja perkataan ibu, oke?"

Rasa sesak tiba-tiba menghantam tubuh gadis itu. Kedua tangannya mengepal, kuku-kukunya yang terawat tajam menggores kulitnya.

"Kenapa anakku tersayang diam?" Wanita itu tersenyum lembut dan mengusap pelan rambutnya. Pemandangan yang terlihat hangat. Itu yang selalu diinginkannya, ini ibunya yang memperhatikannya. Tapi, sorot mata ibunya yang gelap membuatnya takut. Membuatnya ingin menangis. "Kamu mendengarkan ku kan, hm?"

"Dengar ibu... Aku dengar." Suaranya tercekat, tanpa disadari air matanya mengalir.

"Bagus," bayangan wanita dan gadis itu terlihat jelas, tangan wanita terangkat mengusap wajah gadis kecil. "Satu lagi, jangan cengeng."

Dia mengangguk, menatap gaun merah gelap yang melekat ditubuh wanita itu. Dia mengedipkan matanya.

***

Penglihatannya agak kabur, mencoba memfokuskan tatapannya ke tangannya yang sulit digerakkan. Dua paku menembus punggung tangannya, menyematkannya ke meja yang berlumuran cairan merah, mengalir ke bawah.

Tes... Tes...

Dia melihat sekitar, lantainya berwarna merah pekat. Dindingnya gelap. Gugup, mengalihkan pandangannya ke tubuhnya yang berbalut seragam putih abu.

Tak... Tak... Tak...

"Ibu, ibu... Dimana kamu?"

Tak... Tak... Tak...

"Ibu, ibu, ibu. Aku akan baik, oke? Aku akan baik!"

Tok... Tok... Tok...

"Woy, koala!"

Ziva mengangkat kepalanya. Merasakan kedua pipinya basah. Entah sejak kapan dia duduk di samping tempat tidurnya. Linglung, Ziva mengusap wajahnya dan membuka pintu kamar. Sosok Joza muncul didepannya, satu tangan tengah memegangi perutnya.

"Buruan! Jam...setengah...lapan..." ucap Joza sembari menyebarkan barang-barangnya sepanjang jalan menuju kamar mandi.

Ziva tersadar dan berteriak, "Aku belum mandi."

Joza melambaikan tangan kirinya dan langsung menutup pintu kamar mandi.

Mengambil handuk dan sabun cuci muka cadangannya, Ziva menuju ke kamar yang berhadapan dengan kamarnya.

PaleontologiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang