Enam Belas

4.6K 1K 48
                                    

SAKTI menyodorkan cangkir kopi yang masih mengepul di depan Petra. Dia lalu menyusul duduk di stool, di sebelah sahabatnya itu.

"Lo mau pergi ke acara akikahan anak Obim?" tanya Petra. "Gue tadi lihat undangannya di grup SMA."

Sakti mengangkat bahu. "Kayaknya sih enggak. Kalau resepsi kawinan, emang nggak enak kalau nggak hadir, tapi datang ke acara akikahan padahal kita bukan keluarga kan malah aneh."

Petra tertawa. "Aneh gimana? Wajar banget malah diundang ke acara syukuran teman."

"Ngundangnya memang wajar. Tapi karena status kita belum nikah, apalagi punya anak, datang ke acara seperti itu malah bikin awkward. Gue malas menjawab pertanyaan kuno "kapan nyusul?" itu. Seolah pencapaian hidup kita hanya dinilai dari pernikahan dan punya anak aja. Kesuksesan kita selalu dipertanyakan hanya karena kita belum punya akta nikah dan anak. Padahal, apakah menikah dan punya anak adalah tujuan yang menjamin orang yang sudah melakukannya akan bahagia? Enggak gitu, kan? Banyak orang yang lebih bahagia saat masih single dibandingkan setelah menikah karena belum siap dengan tanggung jawab dan konsekuensi yang sepaket dengan komitmen pernikahan itu. Masih ada orang yang berselingkuh setelah bersumpah untuk menjaga ikatan pernikahannya sampai maut memisahkan. Gue sih lebih memilih terlambat nikah setelah beneran yakin sama pasangan gue, daripada memuaskan ekspektasi orang-orang yang pengin lihat gue nikah dan punya anak. Toh rumah tangga gue nggak akan melibatkan orang-orang yang penasaran kenapa gue belum nikah padahal umur gue udah lebih 30 tahun."

Petra menyeringai lebar. "Omongan lo udah kayak perempuan aja. Biasanya hanya perempuan yang sensitif sama pertanyaan 'kapan nikah?' itu karena gimanapun, mereka punya usia emas untuk hamil dan melahirkan. Terlambat nikah bisa berisiko kalau mereka kepengin punya anak sendiri. Kita laki-laki kan nggak gitu. Kita lebih fleksibel. Risiko paling buruk sih kita bakal disangka ngemong cucu kalau baru punya anak di pertengahan umur 40-an."

Sakti ikut nyengir. "Ibu gue kayaknya bakalan ngeluh nonstop kalau gue belum nikah sampai umur empat puluhan. Sekarang aja dia udah sering bujukin gue untuk kenalan sama anak teman-temannya karena nggak kunjung ngenalin seseorang sejak putus sama Mazaya. Ibu tambah panik lagi setelah tahu Mazaya nikah duluan. Dia pikir nikah itu balapan yang pemenangnya pasti dapat tempat terhormat di masyarakat."

"Jadi lo sebenarnya sebel ditanyain calon istri sama ibu lo, tapi lebih memilih menyalahkan orang lain yang nanyain hal yang sama?" sindir Petra. "Tapi apa yang dirasakan ibu lo itu wajar sih karena lo anak sulung dan sudah berada di umur yang dia pikir mapan banget untuk menikah. Apalagi perempuan suka membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Ibu lo pasti iri setiap kali ada anak teman-temannya yang menikah, sementara lo masih anteng aja dengan status jomlo. Untung gue anak bungsu dan kakak-kakak gue udah nikah semua dan punya anak. Jadi gue nggak punya beban kayak elo."

"Ganti topik deh," gerutu Sakti. "Ngomongin undangan akikahan malah nyerempet ke ibu gue yang ribut pengin jadi cupid. Gue curiga dia udah punya list anak temannya yang mau dikenalin sama gue."

"Daftar calon menantu idaman versi ibu lo, kan?" ejek Petra. "Harusnya sih nggak masalah karena semua mantan lo cocok sama ibu lo. Itu berarti kalian satu selera."

"Jangan diterusin!" omel Sakti.

Gelak Petra pecah lagi melihat Sakti misuh-misuh. "Oh ya, gimana kabar Yashica?" Dia akhirnya mengalihkan topik percakapan. "Lo masih main detektif-detektifan?"

"Gue akan berhenti kalau sudah berhasil memecahkan motifnya bekerja sebagai OG di kantor gue," sahut Sakti bersemangat. Mengamati Yashica menjadi hobi baru yang menyenangkan, walaupun sampai sekarang segala sesuatu tentang perempuan itu masih kabur. "Kemarin gue sempat ngintip isi tasnya. Di si—"

"Astaga, jadi lo nggak sekedar nguntitin dia aja, tapi udah sampai ngintipin barang-barang pribadinya?" Petra memelotot tak percaya. "Bro, itu pelanggaran privasi. Lo nggak berhak melakukan itu. Polisi aja butuh surat perintah sebelum menggeledah rumah orang."

"Gue nggak akan melakukan itu dalam kondisi normal, bro. Mengintip isi tasnya membantu gue mendapatkan informasi yang nggak mungkin gue tanyain sama dia karena akan bikin dia curiga kalau gue memata-matai dia. Astaga...!" Sakti memukul meja bar di depannya.

"Astaga kenapa?" tanya Petra. "Kalau ngomong jangan lompat-lompat dong."

"Gue melewatkan satu kemungkinan. Bisa jadi dia adalah polisi atau intel BIN yang sengaja ditanam di kantor gue untuk menyelidiki sesuatu atau seseorang. Mungkin saja, waktu gue ketemu dia di atap, dia nggak bermaksud untuk bunuh diri, tapi untuk mengamati keseluruhan gedung kantor. Seorang intel harus menguasai medan tempatnya bertugas, kan? Setelah gue ingat-ingat lagi, ekspresi dia waktu di atap itu memang dingin banget. Tapi itu bukan ekspresi seseorang yang putus asa dan ingin mengakhiri hidup."

"Lo sebaiknya melupakan obsesi lo menjadi detektif karena menurut gue, lo sama sekali nggak berbakat." Petra mengibaskan tangan, terdengar bosan. "Tempo hari lo yakin banget kalau Yashica memang mau bunuh diri. Sekarang keyakinan lo itu langsung luntur hanya karena mendadak memikirkan kemungkinan lain yang sebelumnya nggak lo pikirkan. Lebih baik lo menggunakan energi lo yang luber itu untuk bekerja. Cari duit sebanyak mungkin. Biarkan Yashica melakukan apa pun yang ingin dia lakukan selama itu nggak merugikan lo. Lo sebaiknya berhenti sebelum Yashica beneran menjadi obsesi dan menempel di kepala lo."

"Lo beneran nggak penasaran kenapa seseorang yang punya uang bekerja pada posisi yang gajinya bahkan nggak bisa menutupi biaya bahan bakar mobilnya?" Sakti tidak menyukai reaksi Petra yang tidak antusias.

"Tentu aja gue penasaran. Tapi rasa penasaran yang gue rasakan nggak cukup untuk memotivasi gue bermain detektif kayak elo. Bagus kalau apa yang lo curigai memang terbukti karena lo akhirnya mendapatkan ending yang memuaskan. Tapi kalau lo hanya menghabiskan banyak waktu dan nggak menemukan apa pun? Itu bukan taruhan yang cukup menarik untuk gue ikutin."

"Lo bisa ngomong gitu karena kasusnya nggak terjadi di bawah hidung lo, bro. Gue nggak bisa masa bodoh karena gue melihat orangnya setiap hari. Dan semakin gue perhatikan, keberadaannya di sana semakin janggal."

Petra mengangkat kedua tangan, menyerah. "Terserah lo ajalah. Gue hanya mau ngingetin kalau hanya ada dua kemungkinan yang akan terjadi ketika kita mengamati seseorang dengan intens. Pertama, kita akan memiliki kecenderungan untuk nggak menyukainya saat kita melihat sikap dan kebiasaan yang ditunjukkannya nggak sesuai dengan nilai yang kita anut. Kedua, kita akan tertarik padanya ketika melihat kalau ternyata kepribadiannya sesuai dengan kriteria kita. Gue sih curiganya lo akan termasuk dalam golongan yang kedua."

"Teori macam apa itu?" gerutu Sakti.

"Perilaku manusia emang kayak gitu, bro. Kita akan gampang kehilangan minat pada sesuatu atau seseorang kalau kita nggak suka apa yang kita lihat dari dirinya. Dan sekarang, setelah lebih dari sebulan, bukannya kehilangan minat, lo malah semakin tertarik pada Yashica. Lo yakin belum jatuh cinta? Mungkin aja niat lo nguntitin dia itu adalah manifestasi dari rasa cinta yang nggak mau lo akuin karena status dia sebagai seorang OG? Jadi lo membenarkan tindakan lo mengintip barang-barang dia untuk membuktikan kalau lo sebenarnya nggak salah orang. Yang bikin lo tertarik itu sebenarnya bukan seorang OG. Dia hanya menyamar sebagai OG."

"Omong kosong!"

"Yap, gue harap apa yang gue omongin itu juga omong kosong, bro. Tapi kita lihat ajalah nanti."

**

Yang  pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya.

Garis DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang