Enam

7.4K 1.2K 48
                                    

"LO lupa bilang kalau pasien yang lo kirim ke gue itu cantik banget!" kata Petra tanpa basa basi ketika Sakti baru melangkah melewati pintu apartemennya. Tawanya meledak. "Pantas aja lo semangat banget nolongnya."

Sakti mendelik dan berdecak sebelum mengempaskan tubuhnya di sofa. "Gue berusaha nyelamatin nyawa, bro. Nggak ada hubungannya dengan penampilan fisik orangnya. Mau cantik atau mau udah nenek-nenek sekalipun, nyawa tetap saja nyawa. Kalau dia beneran lompat dari gedung kantor gue, pasti bakalan heboh banget. Bukan hanya karena wartawan yang nongkrong minta klarifikasi, tapi juga karena karyawan akan menurun produktivitasnya. Selama beberapa minggu, mereka akan lebih tertarik membahas peristiwa itu dengan teori konspirasinya daripada bekerja. Jadi gimana hasilnya, apa yang bikin dia mau bunuh diri?"

Petra menggeleng. "Gue nggak bisa ngomongin masalah klien sama elo, biarpun elo yang ngirim dia. Sudah jadi bagian dari sumpah Hipokrates gue."

"Gue nggak perlu detailnya," sambut Sakti.  "Gue hanya mau tahu kalau lo bisa nolong dia, jadi kantor gue nggak akan masuk dalam salah satu konten You Tube gedung angker karena ada yang bunuh diri di situ."

"Pasien gue itu bukan pasien sakit flu yang hanya butuh satu kali pertemuan untuk bisa sembuh, bro. Karena yang bermasalah bukan fisiknya yang terkontaminasi virus. Gue hanya bisa bilang kalau mengobati orang yang tertutup seperti cewek yang lo kirim itu lebih sulit daripada mengobati orang yang terbuka dan sudah menerima kondisinya. Aware kalau dia emang perlu pertolongan untuk sembuh. Cewek itu belum sampai pada tahap itu. Dia lebih banyak diam waktu gue anamnesis."

Ucapan Petra menyadarkan Sakti kalau dia belum pernah mendengar suara office girl itu sama sekali, padahal mereka sudah bertemu dua kali. Setiap kali mereka berinteraksi, dialah yang bicara, perempuan itu hanya mendengarkan dengan ekspresi datar, tanpa komentar apa pun. Sejujurnya, Sakti lumayan terkejut saat tahu perempuan itu mau datang ke tempat praktik Petra karena dia tidak tampak seperti orang yang akan mengikuti kata-kata Sakti.

"Tapi hasilnya tetap positif, kan?" desak Sakti. "Sekali lagi, gue nggak minta detail, jadi lo aman dengan sumpah yang lo junjung tinggi itu."

"Gue udah jadwalin dia untuk pertemuan berikutnya, tapi gue nggak yakin dia akan datang lagi."

"Kenapa nggak?" kejar Sakti.

"Dia datang karena lo yang suruh, sebagai tanda kalau dia patuh sama bosnya. Tapi lo nggak mungkin terus-terusan nyuruh dia datang, kan? Gue tahu lo peduli sama karyawan lo, tapi lo nggak akan mencampuri urusan pribadi mereka terlalu jauh."

Benar juga, pikir Sakti. Masa dia akan menghambur energi untuk memastikan seorang office girl di kantornya tidak bunuh diri? Itu bukan tanggung jawabnya. Perempuan itu juga akan merasa aneh kalau terus-terusan diperhatikan. Lebih parah lagi, bisa-bisa dia berpikir kalau Sakti tertarik padanya. Astaga, yang benar saja!

Bukan, bukan karena Sakti menganggap levelnya terlalu tinggi untuk tertarik pada seorang office girl, toh perasaan bukan hal yang yang bisa diatur dan dibatasi. Dia hanya tidak punya perasaan tertarik sama sekali. Niatnya tulus sekadar ingin menolong.

"Jadi, kalau dia nggak datang lagi, that's it?" tanya Sakti ragu. Rasanya seperti ada yang tidak tuntas.

"Gue nggak mungkin ngejar dia untuk diagnosis yang belum pasti, bro. Dia pasti akan merasa aneh diuber-uber psikiater yang baru sekali dia temuin. Lo yang bayar biaya konsultasi dia, jadi lo yang harus bicara sama dia kalau lo mau dia berobat."

Entahlah, Sakti tidak yakin dia mau melakukan itu lagi. Orang menolong itu sekali, bukan terus-terusan. Dia juga tidak mau memancing kesalahpahaman seperti yang dipikirkannya tadi. Dia tidak mau dikejar-kejar office girl yang merasa diberi harapan. Kemungkinan perempuan itu menjadi lebih terpuruk kalau merasa harapannya patah akan lebih besar.

Garis DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang