Tiga Puluh Dua

3.8K 926 28
                                    

RESMAWAN Jati menjadi orang terakhir yang bergabung di meja makan. Dia datang setelah disusul Hashi ke ruang kerjanya. Ternyata tidak di kantor ataupun di rumah, Resmawan Jati tidak bisa dipisahkan dari pekerjaan. Entah apa yang harus dikerjakannya karena setahu Yashica, seorang direktur utama seharusnya telah mendelegasikan semua pekerjaan kepada para direkturnya. Dia hanya perlu mengawasi dan menjadi pengambil keputusan tertinggi untuk kebijakan yang diusulkan para pembantunya itu. Beban kerja seorang direktur utama lebih sedikit, walaupun tanggung jawabnya tetap yang terbesar. Ternyata hal itu tidak berlaku bagi Resmawan Jati karena dia tetap berada di ruang kerjanya di akhir pekan.

Yashica mendongkol luar biasa karena harus menunggu lebih dari dua jam setelah berada di rumah laki-laki itu untuk bertemu dengannya. Ternyata menjadi pacar Sakti hanya membuat Yashica istimewa di mata ibu dan adik-adik Sakti. Resmawan Jati tidak merasa perlu beramah-ramah dengannya.

Di meja makan, Resmawan Jati hanya fokus pada piringnya, tidak ikut dalam percakapan ringan yang dibangun istri dan anak-anaknya untuk melibatkan Yashica. Sesekali, laki-laki itu memang menghentikan gerakan sendok dan garpu untuk mendengarkan percakapan yang terjadi di meja makan itu dan ikut tersenyum ketika Gressa, Hashi, atau Sakti melempar lelucon, tapi tidak ikut menanggapi. Resmawan Jati menjadi orang yang pertama mengosongkan piring dan gelas minumannya. Setelah itu dia pamit untuk kembali ke ruang kerja dan meminta kopinya diantarkan ke sana.

Benar-benar menyebalkan! Sikap Resmawan Jati membuat Yashica semakin geram. Semua usaha yang dipikirnya cemerlang untuk mendekat pada laki-laki itu tampaknya menemui jalan buntu.

"Kayaknya ayah Mas Sakti nggak suka sama aku deh," Yashica memancing Sakti ketika penghuni meja makan sudah pindah ke ruang tengah.

"Dia nggak mungkin nggak suka sama kamu," bantah Sakti. Dia menatap Yashica serius, hendak meyakinkan bahwa apa yang dia katakan benar. "Ayah memang orangnya seperti itu. Dia bukan orang yang gampang akrab sama orang yang baru dia kenal. Sama kerabat pun, Ayah nggak akan banyak bicara. Bukan berarti dia nggak suka atau sombong, tapi memang udah pembawaan dia aja. Ayah selalu menjadi orang pertama yang akan menolong kalau ada keluarga yang butuh bantuan, tapi itu tadi, dia akan membantu dengan materi atau tenaga, bukan tipe yang akan menenangkan orang dengan kata-kata. Kamu akan terbiasa sama Ayah yang cenderung pendiam kalau sudah sering bersamanya." Sakti tersenyum. "Ibu sering banget menggoda Ayah dengan bilang kalau awal-awal nikah dulu, dia bisa menghitung jumlah kalimat yang Ayah ucapkan padanya dalam sebulan. Beneran, dalam sebulan, bukan sehari. Tapi Ayah orangnya penyayang banget kok. Untuk tahu kita disayang dan dicintai, sikap yang ditunjukkan jauh lebih terasa daripada sekadar kata-kata, kan?"

Mungkin. Yashica tidak punya pengalaman disayangi banyak orang. Yang paling mendalam dirasakannya hanyalah kasih sayang dari ibunya dan Tante Ilona. Tapi mereka sudah lama meninggalkan dunia. Yashica nyaris lupa rasa dan kehangatan pelukan mereka. Kadang-kadang, Yashica memimpikan ibunya dan Tante Ilona. Tapi mimpi berbeda dengan kenyataan. Mimpi-mimpinya lebih sering berisi kesedihan daripada kehangatan. Di mimpi itu, Yashica seperti mati rasa.

Sekarang masih ada Ikram dan Nenna, tapi jarak juga sudah memisahkan mereka sejak lama. Hubungan mereka hanya melalui hubungan telepon. Terhubung oleh kata-kata, bukan sikap yang bersifat fisik seperti yang dikatakan Sakti.

Setelah terbiasa terisolir, Yashica tidak yakin dia bisa merasa nyaman dengan sentuhan fisik yang diterimanya. Seperti sekarang, dia sangat ingin melepaskan diri dari rangkulan Sakti yang duduk persis di sebelahnya. Masalahnya, tidak mungkin menepiskan tangan Sakti yang melingkari punggung dan berlabuh di lengan atasnya. Itu akan merusak aktingnya sebagai pacar yang sempurna. Sepertinya, Sakti dan adik-adiknya mewarisi kehangatan sikap ibu mereka yang menunjukkan perasaan dengan sentuhan. Saat masih di mal tadi, lengan Yashica bergantian mereka gandeng.

Yashica paham jika rangkulan bahu yang Sakti lakukan merupakan konsekuensi dari hubungan eksklusif mereka. Pernyataan sayang. Sentuhan itu terbilang ringan dibandingkan dengan pelukan dan ciuman. Yashica menggelengkan kepala. Tidak, dia tidak ingin memikirkan hal itu sekarang. Hanya akan membuatnya gerah dan semakin tidak nyaman.

"Ngomongin apa sih?" ibu Sakti yang tadi duduk agak jauh bersama Gressa dan Hashi, membahas sesuatu yang mereka lihat di iPad mendekat pada Yashica dan Sakti. "Kelihatannya serius banget."

"Yashica pikir Ayah nggak suka sama dia," jawab Sakti.

Ibu Sakti tertawa kecil dan mengibaskan tangan. "Ayah Sakti nggak ngajak ngobrol bukan karena dia nggak suka sama kamu," dia mengulang apa yang baru saja Sakti katakan. "Emang udah setelannya kayak gitu. Ayah Sakti bukan tipe yang ekspresif. Tapi dia terhitung komunikatif sama kamu karena waktu pertama ketemu di restoran, dia penasaran dan sempat nanya-nanya. Biasanya, kalau kenalan sama teman-teman Sakti, Greesa, dan Hashi, paling banter juga dikasih senyum tipis-tipis, nggak sampai diajak ngobrol. Jangan diambil hati ya. Nanti juga kamu terbiasa kok."

Yashica berusaha tersenyum. Dia tidak ada di sini untuk membuat dirinya terbiasa dengan Resmawan Jati. Dia hanya akan sampai pada tahap menuntut jawaban untuk semua pertanyaan yang tercipta di masa lalu lalu pergi melanjutkan hidup di tempat lain, sama seperti Resmawan Jati dan keluarganya yang akan segera melupakannya. Bagi Yashica dan mereka semua, tahap ini adalah sebuah titik persinggahan yang akan memberi warna dalam hidup. Tentu saja bukan warna ceria karena tidak ada kebahagiaan yang menyertai sebuah pelampiasan sakit hati.

"Ibu harus mengakui kalau sifat Ayah Sakti itu nggak ideal ketika berhadapan dengan pasangan anak-anak, tapi sebagai istri, sikapnya bikin secure karena Ibu tahu dia bukan orang yang gampang menggoda atau digodain orang lain."

Yashica berhasil menahan supaya senyumnya tidak berubah sinis. Tampaknya ibu Sakti belum terlalu mengenal laki-laki yang sudah hampir tiga puluh tahun hidup bersamanya.

"Ibu harusnya jangan bilang kalau tipe seperti Ayah adalah calon suami sempurna untuk semua perempuan, karena aku jadi kurang ideal di mata Yashica," gerutu Sakti menanggapi ibunya. "Aku kan nggak setipe sama Ayah."

Mata ibu Sakti membelalak jenaka. "Astaga, maksud Ibu bukan kayak gitu. Ibu nggak bilang kalau laki-laki yang supel kayak kamu lantas gampang selingkuh karena pinter ngomong." Dia menatap Yashica minta dukungan. "Kamu ngerti maksud Ibu, kan?"

Yashica mengangguk, tetap mempertahankan senyum dan ekspresi ramahnya. "Saya mengerti maksud Ibu, kok."

Sampai Yashica akhirnya pamit pulang, Resmawan Jati tetap tidak muncul. Dia dilepas dengan pelukan dan ciuman di pipi oleh ibu Sakti dan adik-adiknya. Sikap yang semakin menegaskan bahwa sisi hangat itu jelas tidak ditularkan oleh Resmawan jati.

Yashica benci mengakui, tapi sikap Resmawan Jati yang cenderung dingin malah lebih mirip dengan dirinya daripada Greesa dan Hashi. Sepertinya dia memang mewarisi semua yang terburuk dari laki-laki itu. Yang terbaik darinya disumbangkan pada anak-anaknya dari perempuan lain.

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya.

Garis DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang