Dua Puluh Enam

4.2K 1.1K 70
                                    

Seumur hidup, selain saat wisuda, Yashica tidak pernah memperhatikan penampilannya seperti hari ini. Dia merawat tubuh dan wajahnya dengan memanjakan diri di klinik kecantikan, tetapi tidak pernah berdandan berlebihan. Dia lebih memilih memakai rangkaian skincare ketimbang makeup.

Hari ini Yashica mematut diri lebih lama di depan cermin untuk memastikan pakaian yang dikenakannya sesuai dengan tas dan sepatunya. Makeup-nya natural, dioles tipis-tipis saja, tapi kalau biasanya dia memakai cushion, hari ini dia sengaja memakai foundation yang akan membuat kulit wajahnya terlihat berkilau sehat sempurna. Resmawan Jati harus melihat seperti apa rupa anak yang dia tinggalkan. Yashica ingin meninggalkan kesan mendalam pada laki-laki itu. Semakin baik kesan Resmawan Jati padanya, semakin besar pula penyesalan yang akan dirasakannya. Semoga begitu.

"Cantik banget!" seru Sakti ketika Yashica membuka pintu untuknya. Senyumnya mengembang lebar. "Untung aku nggak punya kakak laki-laki yang masih jomlo, jadi aku nggak perlu khawatir ada saingan yang bakal godain kamu."

"Aku ambil tas dulu, Mas." Yashica buru-buru melepaskan diri dari tangan Sakti yang memerangkap pinggangnya.

Ketika menyusun rencana untuk menjerat Sakti, Yashica lupa memperhitungkan kontak fisik yang pasti terjadi saat mereka resmi menjadi pasangan. Selama ini sentuhan itu memang baru sebatas genggaman tangan dan rangkulan di bahu. Intensitasnya baru saja meningkat beberapa detik lalu menjadi pelukan di pinggang. Menurut Yashica, Sakti termasuk laki-laki sopan. Sentuhannya tidak berlebihan dan menyasar wilayah yang sensitif, tapi sesopan-sopannya seorang pacar, sentuhan intens yang berbau gairah seperti ciuman pasti akan terjadi. Hanya masalah waktu dan pemantiknya. Terus terang, Yashica ketar-ketir memikirkannya. Dia tidak ingin melakukannya, tapi juga tidak tahu bagaimana harus menolaknya ketika Sakti bermaksud melakukannya. Dia belum pernah pacaran sebelumnya, dan tiba-tiba saja harus berciuman dengan laki-laki yang hanya dimanfaatkannya demi mencapai tujuan, tanpa perasaan cinta sedikit pun.

"Kalau pergi sekarang, nanti kita kelamaan nunggu." Sakti melangkah menuju sofa dan duduk di sana. "Aku sengaja datang lebih cepat karena aku pikir harus menunggu kamu siap-siap. Biasanya perempuan butuh waktu cukup lama untuk dandan. Aku sering lupa kalau kamu dokter yang terbiasa tepat waktu karena berurusan dengan nyawa pasien."

Yashica mendekat ragu ketika Sakti menepuk sofa di sisinya. "Mas mau minum kopi atau teh?" Dia mencoba mengulur waktu.

"Nggak usah. Di sana aja biar nggak kebanyakan minum. Males juga bolak-balik ke kamar mandi. Kita ngobrol aja dulu sebelum pergi."

Yashica tidak mungkin mengelak lagi ketika Sakti kembali memberi isyarat untuk duduk di sebelahnya. Dia sengaja memberi sedikit jarak supaya tidak bersentuhan dengan Sakti, tapi usahanya langsung gagal karena Sakti bergeser menutup jarak itu. Untuk ukuran pasangan, gestur yang ditampilkan Sakti termasuk wajar sehingga Yashica menahan diri supaya tubuhnya tidak bergerak menjauh. Dadanya berbebar mengantisipasi gerakan Sakti selanjutnya. Apakah mereka akan berciuman sekarang? Pikiran itu membuatnya gugup. Dia merasa lega saat Sakti hanya meraih tangannya dan menggenggamnya.

"Kita belum membicarakan rencana kamu selanjutnya setelah urusan dengan ayahmu selesai." Sakti mengusap punggung tangan Yashica dengan ibu jarinya. "Kamu mau balik ke Malang lagi? Aku nggak suka LDR sih, tapi aku nggak mungkin juga ngatur-ngatur kamu padahal baru aja berubah status jadi pacar."

"Aku nggak harus balik ke sana," jawab Yashica jujur. "Aku nggak punya keluarga dekat yang mengharuskan aku untuk tetap di sana."

"Sama sekali nggak ada?" Sakti mempertegas. Selain tentang ayah-ibu dan profesinya, Yashica belum pernah menceritakan tentang kehidupan pribadinya.

"Kakek dan nenekku hanya punya satu orang anak. Ibuku. Setelah Ibu meninggal, aku nggak punya kerabat yang beneran dekat karena aku nggak kenal satu orang pun dari pihak ayahku."

Sakti senang mendengar kemungkinan Yashica tidak harus kembali ke Malang. "Kalau begitu, nggak usah pulang ke sana. Kamu kerja di sini aja. Petra pasti bisa merekomendasikan kamu di rumah sakit atau klinik yang membutuhkan dokter. Koneksinya banyak."

Tentu saja Jakarta tidak pernah menjadi pilihan bagi Yashica. Dia tersenyum membalas antusiasme Sakti supaya Laki-laki itu merasa idenya disetujui. "Aku belum pernah mikir sampai ke sana. Tapi kalaupun aku mau, Jakarta pasti udah kelebihan dokter umum."

"Atau kamu bisa ambil spesialis dulu. Tapi terserah kamu sih. Mau kerja atau mau sekolah lagi nggak masalah, asal di Jakarta. Jadi kita nggak perlu LDR."

Ada rasa bersalah yang melintas dalam hati Yashica melihat Sakti yang tampak serius mengajaknya bicara layaknya pasangan. Entah bagaimana reaksi laki-laki itu kelak saat tahu dirinya hanya dimanfaatkan sebagai batu loncatan untuk mencapai tujuan Yashica.

"Nanti aku pikirin lagi, Mas." Yashica memilih menghindar dari antusiasme Sakti membahas masa depan hubungan mereka. "Sekarang aku lagi deg-degan memikirkan pertemuan dengan keluarga Mas. Gimana kalau mereka nggak suka sama aku?" Bukan penerimaan mereka yang membuat Yashica berdebar-debar karena dia tidak peduli pada hal itu. Satu-satunya orang yang membuat Yashica deg-degan adalah Resmawan Jati, karena untuk pertama kali dalam hidupnya, Yashica akan berhadapan dan menatap versi hidup dari foto yang selama ini menjadi pelampiasan kerinduan ibunya.

"Nggak usah khawatir, mereka pasti suka sama kamu," hibur Sakti. Dia melanjutkan dengan nada bercanda, "Standarku mencari pasangan jauh lebih tinggi daripada ekspektasi mereka, jadi kamu pasti lulus A++ di mata mereka."

**

"Mereka sudah di dalam," kata Sakti setelah mereka turun di pelataran parkir restoran yang menjadi tempat perayaan ulang tahun adik Sakti. "Mereka pasti on time karena mau kenalan sama kamu. Semua exited banget mau lihat apakah pacarku beneran secantik yang aku bilang." Sakti tertawa di ujung kalimatnya.

Ketegangan yang dirasakan Yashica memuncak. Beberapa menit lagi, dia akan bertemu dengan laki-laki yang seharusnya berada di sisi ibunya saat dia dilahirkan. Orang yang seharusnya menjadi laki-laki pertama di dunia yang menggendongnya dan mengguyurnya dengan kasih sayang.

"Santai aja." Sakti menenangkan saat menyadari telapak tangan Yashica yang melekat dengan telapak tangannya sendiri berkeringat. "Keluargaku nggak menakutkan kok. Adik-adikku memang tipe yang kepo, tapi interogasinya nggak akan keterlaluan. Ada aku juga."

Yashica mengulas senyum membalas Sakti yang salah mengartikan ketegangannya. Dia menarik napas panjang-panjang, mencoba rileks. Tapi sulit. Jantungnya memukul keras seolah berontak hendak keluar dari rongganya. Telinganya pekak. Langkahnya terasa berat. Yashica merasa seperti berada dalam adegan slow motion di film-film yang menyajikan ketegangan.

"Ini ruangannya." Sakti membuka pintu ruangan yang dipesan khusus untuk acara ulang tahun adiknya.

Suara Sakti terdengar seperti datang dari kejauhan, paadahal dia berada di sisi Yashica. Ketika pintu terbuka, tatapan Yashica langsung jatuh pada salah seorang dari empat orang yang spontan menoleh ke arah pintu yang terkuak.

Jadi seperti itu rupanya sekarang. Rambut laki-laki itu sudah mulai memutih. Garisan kerut yang tidak ada di foto sekarang tampak menghiasi wajahnya. Tapi itu orang yang sama. Yashica sangat yakin. Ketika pandangan mereka bertemu, Yashica melihat keterkejutan yang nyata dalam sorot matanya. Yashica tahu kenapa. Wajahnya memang sangat mirip dengan wajah ibunya di masa muda. Masa ketika Resmawan Jati meninggalkannya.

**

Yang pengin baca cepet, bisa ke Karyakarsa ya. Di sana udah lama tamat.

Garis DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang