Dua Puluh Delapan

4.3K 955 63
                                    

KALAU saat perjalanan menuju restoran Yashica tampak tegang, maka dalam perjalanan pulang ke apartemennya, perempuan tak mengeluarkan sepatah kata pun. Gesturnya tidak kaku lagi, tapi dia tenggelam dalam lamunan.

"Hei, mikirin apa sih?" Sakti tidak tahan diam saja. Dia mengulurkan tangan menggenggam jari-jari Yashica. "Orangtua dan adik-adikku suka banget sama kamu. Atau mereka terlalu cerewet untuk kamu yang sudah terbiasa sendiri?"

"Hati-hati nyetirnya." Yashica melepaskan tangannya dari genggaman Sakti.

"Aku pasti hati-hati. Aku bertanggung jawab atas keselamatanmu. Aku juga nggak mau mati muda. Jadi, kamu beneran terganggu sama sikap adik-adikku? Candaan mereka kelewatan untuk ukuranmu?"

Yashica menggeleng. Masalah bukan pada adik-adik Sakti, tapi ayah mereka. "Tidak, mereka nggak keterlaluan. Aku suka mereka."

"Tapi kenapa kamu kelihatan sedih gitu?"

"Bukan sedih," kilah Yashica. "Aku hanya berandai-andai dan memikirkan kemungkinan yang mustahil terjadi. Kalau ayahku nggak pergi meninggalkan ibuku, aku mungkin punya kesempatan untuk merasakan seperti apa rasanya dibesarkan dalam keluarga yang harmonis seperti keluarga Mas. Ibuku nggak akan meninggal di usia muda karena patah hati. Dia akan sibuk membesarkan aku dan adik-adikku. Kami juga akan malam bersama sambil bergurau seperti tadi." Tapi kalau itu yang terjadi, Sakti tidak akan memiliki Resmawan Jati sebagai ayah tiri. Tidak akan ada Greesa dan Hashi.

"Kamu memang nggak punya kesempatan dibesarkan dalam keluarga yang harmonis, tapi kita bisa membangun keluarga yang harmonis sendiri. Dalam keluarga itu kedudukan kamu memang bukan sebagai anak, tapi ibu. Nggak masalah, intinya, kamu akan dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangi kamu. Ada aku, keluargaku yang nantinya akan jadi keluarga kamu juga, dan tentu saja anak-anak kita kalau kita diberikan berkat itu."

Yashica nyaris tertawa sinis mendengar ucapan Sakti yang mengawang-awang. Itu tidak akan pernah terjadi. "Terlalu dini untuk ngomongin itu, Mas. Hubungan kita baru dimulai. Masih dalam proses penjajakan. Kita bahkan belum kenal kepribadian masing-masing."

"Di usia seperti sekarang, untuk aku, pacaran itu tujuannya adalah untuk mengenal calon pasangan hidup. Semakin dewasa, toleransi juga semakin besar karena ruang untuk ego sudah berkurang. Aku lebih tertarik mencari persamaan daripada menonjolkan perbedaan. Sejauh ini, aku suka dan cocok dengan semua yang aku lihat pada diri kamu. Yang aku khawatirkan malah penerimaan kamu sama aku. Cara kita tumbuh dan dibesarkan membuat kepribadian dan cara pandang kita juga berbeda. Aku khawatir apa yang dikatakan Hashi bahwa kamu menganggap aku terlalu cerewet untuk ukuran kamu itu benar, karena itu berbahaya untuk kelangsungan hubungan kita kalau kamu nggak punya ruang untuk toleransi."

"Mas nggak cerewet," ujar Yashica. Sakti memang lebih banyak bicara daripada dirinya, tapi belum bisa dibilang cerewet dan mengganggu. Dia mirip dengan Ikram yang tahu menghidupkan suasana, tetapi juga tahu kapan harus diam. Buktinya, Sakti menunggu cukup lama setelah mobil yang dikemudikannya meninggalkan restoran, sebelum mulai mengajaknya ngobrol. Sakti tidak langsung memborbardirnya dengan pertanyaan saat melihatnya muram dan tenggelam dalam pikirannya sendiri.

"Kalau nanti aku terlalu banyak bicara atau ngatur sehingga bikin kamu pusing, bilang aja. Aku begitu karena aku sayang sama kamu. Aku biasanya nggak terlalu banyak bicara sama perempuan yang bukan anggota keluarga atau pacarku. Palingan basa basi dikit biar nggak dibilang sombong. Apalagi aku orang marketing yang harus selalu berhubungan dengan banyak orang. Memang bukan di garis depan karena aku hanya akan berhubungan dengan klien tertentu, tapi tetap aja harus ramah."

Yashica mendadak gerah. Mendengar Sakti membahas hubungan mereka seserius ini, dia merasa seperti seorang pembohong besar. Penipu kelas kakap. Sakti layak mendapatkan seseorang yang benar-benar mencintainya, bukan hanya berpura-pura. Toh bukan salah Sakti karena Resmawan Jati menjatuhkan pilihan pada ibunya dan menikahinya. Tapi sudah terlambat untuk mundur sekarang. Kelak, Sakti bisa memaki dan menghujatnya untuk luka hati karena telah dipermainkan. Yashica tahu dia pantas menerimanya.

Garis DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang