Satu

10.2K 1.6K 42
                                    

RUANGAN yang hening adalah pertanda bahwa semua karyawan sedang dalam mode produktif. Kalaupun ada yang terdengar, itu adalah bunyi printer yang mencetak dokumen. Atau derit kaki kursi yang bergeser ketika posisi tubuh orang yang berada di atasnya berubah. Hanya sesaat lalu kembali hening.

Yashica mulai hafal ritme kerja karyawan tempat dia bertugas selama dua minggu terakhir sebagai office girl. Dua minggu yang sia-sia karena dia tidak semakin dekat dengan tujuannya berada di kantor ini. Rasanya seperti jalan di tempat karena tidak satu pun dari rencananya menampakkan titik terang akan terwujud.

Alih-alih bertemu dengan orang yang menjadi alasannya berada di tempat ini di hari pertama kerja, selama dua minggu, Yashica malah mendapati dirinya pontang-panting dilempar ke sana kemari melakukan berbagai pekerjaan yang diperintahkan sesama office girl lain yang lebih senior atas nama orientasi. Ternyata perploncoan terjadi juga di kasta terbawah karyawan kantor.

Yashica tidak mengeluhkan tumpukan pekerjaan yang dibebankan seniornya. Bolak-balik membelikan makanan untuk pegawai yang kastanya lebih di atas, menggandakan dokumen, menyiapkan ruangan rapat, mencuci piring dan gelas bekas makan minum bukanlah pekerjaan yang menguras energi. Dia pernah melakukan pekerjaan yang lebih berat, yang membuatnya harus terjaga semalaman tanpa bisa menyentuh makanan yang sudah dia buka kemasannya. Waktu itu, sering kali mi instan yang dia seduh akhirnya harus masuk tempat sampah karena sudah lembek dan dingin sebelum sempat dia makan. Dibandingkan semua itu, pekerjaan sebagai office girl tidaklah terlalu berat.

Yang membuat Yashica sebal bukanlah pekerjaan, tetapi kenyataan bahwa jangka waktu satu bulan yang menjadi targetnya bekerja di kantor ini sepertinya akan molor, padahal dia tidak berencana membuang banyak waktu. Dia hanya ingin melalui fase ini lalu meninggalkan masa lalu selamanya. Sakit hati, amarah, dan kekecewaan yang sudah terlalu lama diperamnya akan dicampakkannya. Dia akan melanjutkan hidup, tanpa menoleh. Tapi sebelum itu, dia perlu penutup. Bukankah semua orang membutuhkan penutup untuk setiap masalah sehingga bisa melangkah dengan mantap menyongsong masa depan?

Penutup bukan berarti mendapatkan penyelesaian yang memuaskan karena tidak semua orang mendapatkan apa yang diinginkannya. Yashica sudah paham tentang hal itu sejak lama. Yang sebenarnya dia butuhkan sebagai penutup hanyalah untuk menambal lubang yang selama ini menganga dalam hatinya. Dia ingin mengatakan dengan bangga kepada orang itu bahwa Yashica tidak butuh dirinya untuk bisa hidup dan terus menjalani kehidupan.

Orang lain mungkin butuh ayah sebagai panutan, pegangan, atau pelengkap yang bisa dipamerkan sebagai keluarga yang sempurna, tapi Yashica tidak perlu itu. Dia bahkan tidak membutuhkan laki-laki yang dipanggil sebagai ayah. Tidak dulu, sekarang, apalagi nanti. Yashica sudah terbiasa melalui lembar waktu tanpa laki-laki dewasa sebagai pelindung. Dia belajar dengan cara yang paling getir bahwa laki-laki yang menyumbang kromosom dalam tubuhnya pun tidak bisa diandalkan.

Yashica membutuhkan penutup ini untuk ibunya. Perempuan pengabdi cinta yang selalu menemukan pembenaran mengapa dia ditinggalkan. Yang setia menunggu walaupun lubuk hatinya yang paling dalam pasti tahu bahwa semakin lama dari jarak perpisahan, kemungkinan laki-laki yang memunggunginya itu kembali akan kian tipis. Tapi ibunya menunggu dan terus menunggu, sampai akhirnya dia sendiri pergi meninggalkan dunia dalam keadaan patah hati.

Yashica ada di sini untuk mendengarkan alasan mengapa ibunya ditinggalkan tanpa penutup, padahal apa sulitnya mengurus perceraian? Mengapa ibunya dibiarkan memelihara harapan kosong, padahal akan lebih mudah melanjutkan hidup seandainya tahu dia sudah tidak diinginkan.

Yashica tahu ibunya memang bodoh karena tidak punya kekuatan untuk melepaskan masa lalu, tapi sebagai anak, dia merasa berkewajiban mencari jawaban yang tidak pernah didapatkan ibunya secara langsung sampai akhirnya berpulang.

Atau mungkin Yashica melakukan ini untuk memuaskan ego karena ingin melihat laki-laki itu menyesal sudah menelantarkannya, dan dia menggunakan ibunya sebagai alasan. Entahlah. Yang jelas Yashica ingin melihat ekspresi laki-laki tidak bertanggung jawab itu saat berhadapan dengannya.

"Kalau hanya mau ketemu, mengonfrontasi, dan menumpahkan kemarahan, kamu nggak perlu melamar dan kerja sebagai OG di kantornya, Ca," kata Ikram saat mengetahui niat Yashica. "Kamu cukup datangin dia di kantornya aja. Atau kalau mau dramatis kayak di sinetron-sinetron, kamu sekalian ke rumahnya, ngamuk-ngamuk di depan anak dan istrinya. Kamu kayak orang kurang kerjaan saja mau kerja jadi OG."

Yashica tahu apa yang dikatakan Ikram itu masuk akal, tapi kemarahan yang sudah disimpannya sekian lama tidak bisa hanya dituntaskan melalui satu kali pertemuan yang mungkin saja tidak akan sampai setengah jam.

"Aku harus tahu dia orang seperti apa," jawab Yashica. "Aku ingin tahu bagaimana keseharian monster yang sudah bikin ibuku merana sampai meninggal dunia."

"Kalau kamu sudah tahu terus bagaimana?" kejar Ikram. "Seandainya dia nggak sejahat seperti yang selama ini kamu pikir, apa kemarahanmu akan hilang? Pasti tidak, kan? Jadi kenapa harus menghabiskan waktu padahal ujung-ujungnya kamu akan tetap ngamuk juga? Kalau ada cara ringkas dan cepat, kenapa harus menyiksa diri lebih lama? Kamu nggak pernah mencuci piring bekas makan orang lain, Ca. Kamu nggak pernah pegang sapu dan diperintah orang lain untuk mengerjakan pekerjaan kasar, jadi kenapa harus melakukan itu hanya untuk mengamati ong yang jelas-jelas kamu benci? Kamu nggak berpikir kalau itu bodoh?"

"Hanya sebulan," Yashica bertahan. "Aku yakin dengan melihat dia setiap hari bisa jadi tambahan bahan bakar untuk kemarahanku."

"Bodoh," ulang Ikram.

Yashica memilih mengabaikan apa pun yang dikatakan Ikram untuk membatalkan niatnya menghabiskan waktu untuk mengamati laki-laki yang sudah menyakiti ibunya. Yashica enggan menyebutnya ayah. Untuk apa mengakui orang yang tidak pernah peduli padanya?

Sekarang, setelah dua minggu berlalu dan sasarannya tidak sekali pun tampak batang hidungnya, Yashica mulai mengakui jika dia memang bodoh. Tapi sudah telanjur. Dia tidak pernah setengah-setengah dalam melakukan sesuatu. Segala yang sudah dimulai pantang diakhiri sebelum tuntas.

Yashica hanya perlu bersabar. Laki-laki itu adalah pemilik dan pemegang pucuk tertinggi perusahaan ini, jadi dia pasti akan datang. Dia mungkin sedang berlibur keliling dunia untuk menikmati kesuksesannya, tapi dia akan segera kembali. Pasti.

Meskipun sebal, tapi Yashica bisa menunggu. Dia sudah menantikan pertemuan ini selama lebih dari dua puluh tahun, jadi menahan diri selama beberapa minggu tidak akan terlalu sulit.

**

Untuk yang pengin baca cepet, di Karyakarsa udah tamat ya. Tengkiuu....

Garis DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang