Sebagian mungkin sudah ada yang sadar. Bahwa bisa mencintai dan di cintai seseorang, adalah anugerah yang indah sekali. Kau hidup untuk itu.
***
Kiri membuka pintu kamar Dimitri pelan. Dengan perasaan ragu ia melongok ke dalam, masih sedikit takut mengingat kemarahan Dimitri beberapa saat lalu. Pemilik kamar itu sedang duduk bersandar di kepala kasur sambil melihati layar ponselnya lekat-lekat. Kiri melihati pria itu ragu, apalagi saat menyadari bahwa sekarang Dimitri hanya mengenakan boxer hitam tanpa sesuatu apapun di bagian atas tubuhnya.
Sepertinya Dimitri masih belum menyadari kehadiran Kiri, terbukti dari matanya yang masih belum teralih sedikitpun dari ponselnya. Karena kesal tak kunjung di sadari kehadirannya, Kiri berdehem keras di tempatnya, membuat Dimitri sedikit terkejut saat menoleh ke arah Kiri.
“Kenapa berdiri di sana?” Tanya Dimitri sambil menggeser duduknya agak ke tengah. “Masuk sini. Biasanya kau akan langsung lari dan tiduran di kasurku.” Lanjutnya. Tidak lama, Dimitri kembali memfokuskan perhatiannya pada layar ponselnya. Membuat Kiri sedikit penasaran.
Dengan langkah perlahan namun pasti, Kiri mendekat ke arah kasur Dimitri. Setelah sebelumnya ia menaruh tas yang sudah terisi buku untuk pelajaran besok di meja belajar Dimitri. Niatnya dia besok akan sarapan di rumah Dimitri dan tidak akan ke rumahnya dulu, paling hanya pamitan saja ke Ayah dan Ibunya.
“Sudah minta izin ke Ibumu?” Tanya Dimitri tanpa melihat ke Kiri.
Kepala Kiri mengangguk pelan, lalu ia mendudukkan badannya di pinggiran kasur Dimitri, membelakangi pria tampan yang sedang asik itu. Kiri menghembuskan nafas berat dan menatapi lampu belajar Dimitri tanpa alasan. Fikirannya masih melayang ke Bastian. Kasian juga anak itu, dia pasti menunggu di taman cukup lama. Atau mungkin, bisa jadi dia masih menunggu sekarang. Kepala Kiri menoleh ke arah Dimitri, bibirnya bergerak-gerak ragu seperti ingin mengatakan sesuatu.
“Dim,” Panggil Kiri, ia gigiti bibir bawahnya menahan takut.
Dimitri hanya bergumam menanggapi panggilan Dimitri, matanya tidak teralihkan sedikitpun dari ponselnya. Kiri menelan ludahnya, sedikit kesal juga karena mendapatkan tanggapan setengah hati seperti itu.
“Pinjam ponsel.” Pinta Kiri memelas.
Dimitri mengetuk pelan layar ponselnya lalu menatap Kiri dengan kening berkerut. Baru saja dia akan menyuruh Kiri menggunakan ponselnya sendiri, sampai ia teringat bahwa Kiri masih juga belum dapat ganti ponselnya. Dimitri menyerahkan ponselnya setelah menutup tab browsernya.
Senyum Kiri merekah. “Ada nomor Bastian?” Kiri memeriksa kontak Dimitri dengan teliti.
“Ck.” Dimitri berdecak kesal. Baru saja perasaannya mereda, tapi Kiri justru menyiramnya lagi dengan bensin, sehingga sekarang berkobar lagi emosinya. “Jangan sebut nama dia! Gunakan kata ganti saja. Lagipula untuk apa menghubungi dia menggunakan ponselku?”
Kiri langsung merengut kesal saat mendengar suara Dimitri yang menyulut. Dari dulu Kiri paling tidak suka mendengar suara Dimitri saat marah-marah. “Aku hanya mau bilang kalau aku akan batalkan wawancaranya. Dia mungkin saja masih menungguku.”
“Aku tidak punya nomornya.” Gumam Dimitri yang pada akhirnya memilih untuk menenangkan diri. Ia baringkan dirinya dengan kasar, dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Itu cara Dimitri menenangkan diri.
Sedangkan Kiri hanya melihatnya sekilas sambil cemberut. Kemudian ia berjalan menuju meja belajar Dimitri dan membuka tasnya, mengambil sebuah buku kecil dari sana. Di buku kecil itu tertulis semua nomor-nomor yang ada di dalam ponselnya yang rusak. Sengaja Kiri catat, takut-takut kalau nomor-nomor itu hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bestfriend. Sorry, But I Love You. (Selesai)
Teen FictionSetelah ini, kalian akan melihat. Betapa status sahabat bisa sangat menyiksa bagi mereka yang menyadari perasaan cinta. Kenyataannya, mencintai seseorang tanpa sanggup mengatakannya adalah hal yang sangat sulit.