Prolog

272 33 15
                                    

[Tuhan, ajarkan aku menulis dengan cinta. Biarkan aku musnah dalam lukisan Maha Indah-Mu] - BlueSkyLina

Haula menaruh nampan ke atas meja kerja Kahyang. Mata Kahyang sedikit terkejut. Memandangi wajah Haula dan apa yang dibawanya bergantian. Karena itu tidak biasa. Bagaimana bisa Haula memberi perhatian untuk minumannya? Sesuatu yang tidak pernah dia lakukan. Ia tau bagaimana benci Haula pada dirinya dan sekarang wanita itu bersikap layaknya seorang istri pada suaminya.

"Aku membuat teh untukmu." Suara pelan Haula memecah ruangan dan mengembalikan kesadaran Kahyang.

"Apa kamu sendiri yang membuatnya?" Senyum di wajah Kahyang terbit bak sepotong bulan yang bersinar manis di luar jendela sana. Ia menghentikan semua aktivitasnya hanya untuk menyesap perhatian kecil Haula yang jarang terjadi.

"Iya, kenapa? Kalau tidak suka buang saja." Haula membuang wajah. Nada ketusnya kembali.

"Tidak, tidak, " Kahyang langsung mengambil cangkir. Ia tidak ingin mengusik momen manis ini untuk kesalahpahaman lainnya. Bibirnya mengukir senyum. "Hanya kaget. Tapi, selebihnya aku sangat senang. Diperhatikan oleh istriku yang sudah ku tunggu-tunggu amat lama. Ini seperti keajaiban dunia."

Haula menatap diam pada wajah di hadapannya yang tersiram cahaya rembulan. Tersenyum lebar seolah itu adalah kebahagiaan besar. Wajah tampan yang biasanya selalu keras bahkan pada dirinya sendiri, sekarang luluh tanpa penjagaan. Seperti suasana di luar ruangan sana. Tak ada pengawal yang berjaga seperti biasanya. Lenggang dan tenang.

"Bicaralah omong kosong sekali lagi, semua isi teh dan air panasnya akan kutuangkan untuk tanaman di sini sebagai pupuk." Lagi-lagi Haula melempar tatapannya ke arah lain. Ia selalu kalah beradu pandang dengan sosok di depannya. Apalagi untuk sekarang, rasanya hatinya amat gelisah dan selalu hadir keinginan untuk berbalik kembali ke kamar. Tangannya meremas gaun satin tidur panjang yang ia pakai.

"Istriku masih kejam." Kahyang terkekeh lucu. Ia berniat akan menuangkan air sebelum dihentikan suara Haula.

"Sini, biar aku yang menuangkannya. Lagipula, ini cangkirmu. Kamu seorang Raja. Tidak cocok untuk cangkir polos itu." Haula menuangkan teh ke dalam piala emas. Sementara cangkir polos itu untuk dirinya.

"Kenapa kamu meminum dari cangkir biasa? Bukankah kamu seorang Ratu-ku? Kita harus sama, kan?"

Haula mengambil tempat duduk di sisi ranjang sambil membawa cangkirnya. Tanpa melihat wajah Kahyang, ia menyesap tehnya dan menjawab, "Aku lupa."

Sesederhana itu ucapannya atau mungkin ia tidak bisa memikirkan alasan lagi. Melihat jari-jari yang memeluk cangkir menimbulkan riak pada air di dalamnya.

"Saking memperhatikan diriku, kamu jadi lupa akan dirimu. Aku akan mengingat hari ini sampai aku mati."

"Itu terlalu berlebihan," bisik Haula kecil dan punggungnya  menegak begitu merasakan Kahyang mengambil tempat duduk di sampingnya sambil membawa piala di tangan dan belum meminumnya.

"Aku senang melihat rambutmu yang terurai dan kamu sampirkan ke bahumu." Tangan Kahyang mengelus helaian rambut Haula yang diikat menyatu yang berhenti di atas pinggangnya. Bibir Kahyang berbisik tepat di dekat telinga Haula yang memerah. "Cantik."

Begitupun matanya yang memindai reaksi Haula. Kernyitan wanita itu dan cebikan bibirnya yang dilakukannya secara tidak sadar.

"Selir Musyah selalu melakukannya. Bukankah kamu  setiap hari senang melihat kecantikannya? Dia, wanitamu."

"Banyak wanita cantik yang dikagumi. Namun, wanita yang dicintai akan selalu cantik dan menenangkan hati." Kahyang memainkan rambut Haula di jari-jarinya. Melilitnya ke jari telunjuk lalu dilepas. Kemudian menggelungnya lagi di jarinya terus seperti itu sepanjang ia berbicara.

Pengantin Raja Jin MuslimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang