O2: Berisik!

34 5 7
                                    

pukul 17.30 sore
rumah keluarga Lembayung ...

Thea menapaki kakinya di lantai rumahnya itu.
Rumah keluarga Lembayung itu sederhana, tidak bertingkat, tidak kecil, tidak besar juga, dan nyaman. Thea sangat menyukai rumah ini, rumah keluarga Lembayung itu mempunyai aura yang tenang.

Baru saja Thea akan memasuki kamarnya, niatnya ia urungkan karena mendengar suara dari kamar Ayah dan Bundanya.

Pintu kamar itu tertutup rapat, sepertinya pintu itu dikunci.

"Hahaha ... Iya dong sayang."

DEG!

Sayang?
Sayang katanya?

Thea berlari masuk ke kamarnya, tak lupa menutup pintunya. Ia menangis sambil memukul dadanya berulang kali, begitu sesak dadanya.
Padahal ini bukan sekali atau dua kali.

Thea sudah mengetahui bahwa Bunda mulai berhubungan dengan laki-laki lain sejak empat tahun yang lalu. Ia tak pernah memberitahu kepada Ayah, karena takut Ayah akan marah. Bahkan sekedar untuk memberitahukan Abang Theo pun tidak berani.

"Terkadang gue gak mau percaya kalo Bunda kayak gitu, tapi semuanya udah jelas banget," ucapnya sambil menangis.

"Ayah ..."

Tok ... Tok ...

"Dek?"

"Abang?"

Thea membuka pintu, membiarkan Abangnya masuk kedalam kamarnya.

"Dek, kamu nangis lagi?" tanya Theo.

"Bang, kenapa Bunda kayak gitu?" tanya Thea.

"Abang gak tahu, dek. Udah ya, jangan nangis lagi," jawab Theo sambil mengusap air mata Sang adik yang semakin banyak menetes.

Theo mendekap adiknya mengusap lembut rambutnya, membiarkan adiknya tenang terlebih dahulu.
Theo tahu, Bundanya sudah keterlaluan. Theo marah sama Bunda, tapi ia tidak bisa membenci Bunda.
Karena Theo tahu, menjadi seorang Ibu tidaklah mudah.

Saat tangisan Thea sudah mulai reda, Theo melepaskan pelukannya.
"Udah? Sekarang adek bersih-bersih dulu, abang udah beli makan buat adek. Nanti kita makan sama-sama," ucap Theo lembut kepada Thea.

"Bunda gak masak ya?" tanya Thea.

"Iya, Bunda gak masak hari ini," jawab Theo.

Thea menjadi lesu, tapi melihat Theo yang sudah susah payah membeli makanan untuknya, Thea mengubah wajah lesunya menjadi ceria.

"Terima kasih ya, abang," ujar Thea sambil tersenyum.

Theo mengangguk dan mengusap kepala Adiknya dengan lembut.
"Dah sana kamu mandi."

•••

pukul 19.00 malam

"Kamu belum dapet kerjaan sama sekali, Theo?" tanya Sang Bunda kepada anak sulungnya.

Theo menggeleng. "Belum Nda," jawab Theo.

"Haduh ... kamu tuh gak liat ekonomi kita lagi kayak apa?!" marah Bunda.

"Pusing Bunda lama-lama. Kamu tahu kan Ayah kamu tuh bawa duit berapa biasanya kalo pulang!"

"Udah kerjanya cuma jadi supir taksi, haduh Bunda gak tau lagi deh," ketus Bunda.

"Bunda! Bunda kan tahu Ayah cuman kerja jadi supir taksi. Dapet pelanggan pun itu untung-untungan sama supir lain, kenapa Bunda gak mau buka usaha sendiri aja sih?!"

"Aku juga mau kayak temen-temen aku, Nda. Mereka kuliah tanpa harus mikirin kerja, kerja, kerja!"

"Kamu berani sama Bunda? Kamu udah berani bentak Bunda? Diajarin siapa? Diajarin siapa?!" murka Bunda.

Oh tidak, Theo dalam masalah besar.
Ia tak sengaja membentak Sang Bunda. Emosinya sedang tidak stabil hari ini, bersiaplah Theo sebentar lagi kamu akan mendapatkan amukan dari Bunda.

"M-maaf, Nda. Aku gak sengaja," ucap Theo. Sungguh, sekarang Theo merutuki perbuatannya tadi.

Plak!

Theo terkejut, ini kali pertama ia ditampar oleh Bunda. Ditampar menggunakan tangan Sang Ibunda.
Sakit, kecewa, marah dijadikan satu.
Ini bukan Bundanya, Bundanya Theo itu penyayang tidak pernah menampar anaknya sendiri.

"Kamu diajarin sama Ayah kamu, kan?" tanya Bunda.

Theo menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

Terdengar ada suara mobil yang sedang parkir di depan rumah, mereka dapat menebak bahwa itu adalah mobil Sang kepala keluarga, Sadipta Lembayung.

"Jam segini pulang? Yang bener aja," ketus Bunda lalu keluar dari kamar Theo.

Theo menangis dalam diam, ia tidak mau Adiknya itu mendengar suara Abangnya ini menangis. Theo tidak mau terlihat lemah di depan Adik kecilnya itu.
Biarkan masalah ini hanya dipendam oleh Theo.

•••

"Kamu masih berhubungan sama laki-laki itu, Helena?" murka Dipta.
Helena terdiam tak menatap wajah Dipta.

"Kita menikah sudah sembilan tahun, Helena!" bentak Dipta tepat didepan wajah Sang istri.

"Stop berhubungan sama dia!" suruh Dipta.
Dipta geram karena Helena tidak menatapnya, sedari tadi juga Helena sama sekali tidak berekspresi apapun.

"Kalo aku ngomong, liat aku! Kamu udah gak sayang sama aku?"

"Kamu udah gak sayang sama anak-anak, hah?" tanya Dipta yang sangat marah dengan istrinya.

Istrinya itu hanya menatap suaminya sebentar, setelah itu kembali menatap kearah lain.
Helena hanya diam, tidak berniat untuk berbicara dengan suaminya itu.

"Kamu itu gila harta!" bentak Dipta.

"Iya! Iya, aku emang gila harta!" hardik Helena.
Ia sudah kesal dengan Dipta karena daritadi banyak bicara.

"Heh, dengar! Harta bisa dicari, duit bisa dicari. Jangan bertindak seenaknya, itu sama aja kamu gak menghargai aku sebagai suami kamu," geram Dipta.

"Kalo duit bisa dicari, cari sana! Aku capek ya, aku juga pengen hibur diri aku sendiri," bentak Helena.

"Dikira kamu doang yang capek? Aku setiap hari kerja banting tulang, aku gak ada ngeluh kan?" balas Dipta.

"Terserah deh, aku mau tidur," ketus Helena.
Ia segera membaringkan tubuhnya dan menarik selimut agar menutupi setengah badannya.

"Pantas aja, selama ini aku kerja gak dapet apa-apa. Ternyata kelakuan istri gak bener," Dipta benar-benar kecewa dengan istrinya.

Disisi lain, Si anak bungsu masih terjaga dari tidurnya karena mendengar kedua orang tuanya bertengkar.

Sudah beberapa kali Thea mencoba untuk tidur, tetapi ketika Thea ingin memejamkan matanya, suara Ayah atau Bundanya selalu membuat matanya menjadi terbuka kembali.

"Uh ... Berisik! Rumah ini harusnya selalu tenang, bukan berisik kayak gini!" gerutu Thea sambil membekap telinganya menggunakan bantal.

"Ya Tuhan, kembalikan orang tua ku seperti dulu lagi ..."

to be continued

BEST PERSONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang