16

119 45 0
                                    

Masih di hari yang sama, seorang pemuda tengah berbaring di lantai yang beralaskan karpet biru, tidak terlalu tebal namun dapat mengurangi hawa dingin dibandingkan berbaring di lantainya langsung. Ialah Kenzie. Dia termenung menatap langit-langit sel tahanan. Pikirannya amburadul, menunggu info selanjutnya. Akankah ia dibebaskan atau malah mendapatkan hukuman mati. Sekarang, ia hanya bisa berpasrah diri pada sang pencipta.

"Gue mau keluar, di sini panas. Untung gue cuma sendirian, bayangin aja kalau ternyata gue ngumpul sama orang-orang berandalan lainnya. Beuh bisa mati dalam sehari gue-nya." Kenzie bermonolog. Ia memang berpasrah, namun tekatnya untuk keluar tidak pernah tersisihkan. Dibanding mendapatkan hukuman mati, lebih baik ia keluar walaupun di cap sebagai mantan narapidana.

"Membopong dosa orang lain." gumam nya lalu mengambil posisi duduk dengan kaki selonjoran dan punggung bersandar di dinding.

••••

Seno mengambil sebuah wadah berukuran sedang yang berisikan air hangat di dalamnya. Ia menaruh wadah itu di atas meja kecil di samping tempat tidur Daren. Seno meletakkan punggung tangannya di dahi sang sahabat yang terbaring lemas di kasur, mengecek suhu tubuh Daren.

"Nggak panas, suhu lo normal-normal aja. Lo cuma kurang istirahat, Ren," Seno tersenyum menatap Daren yang menutup matanya. Tangan Seno bergerak untuk memeras saputangan lalu menempelkannya pada dahi Daren.

"Semoga cepat sembuh. Jangan lupa minum obat sama istirahat yang cukup. Gue mau pulang dulu." ucap Seno lalu melangkah hendak keluar dari kamar.

"Lo pulang pakai apa, Sen?" tanya Daren dengan suara lemas.

"Ojek online."

"Hati-hati ya,"

"Always." Seno kembali tersenyum sebelum menutup pintu kamar, membiarkan Daren mengistirahatkan tubuh serta pikirannya.

"Shh.. pusing banget. Ini pasti efek tadi malam gue begadang." Daren mendesis kesakitan. Dunia seolah berputar hingga Daren gelisah di tempat tidur, mencari posisi yang nyaman agar dia bisa beristirahat m, memulihkan kondisinya.

Tok.. Tok.. Tok..

Suara ketukan pintu berhasil membuat Daren membuka matanya. Awalnya ia terkejut, siapa yang mengetuk pintu kamarnya, tapi pikiran itu langsung di tepis kala diiringi suara Bi Yem yang memanggilnya.

"Mas, bibi bawain bubur ayam. Mau?"

"Masuk aja, bi, pintunya nggak dikunci."

Mendengar perintah tuan rumah, tak banyak pikir lagi Bi Yem masuk ke kamar. Beliau menggelengkan kepala kala melihat Daren dengan kondisi yang kurang fit.

"Makan dulu, mas, biar bisa minum obat."

"Nanti ya, bi, Daren masih mau tidur."

"Ya sudah. Obatnya jangan lupa diminum. Nanti susah kalau mas sakit. Takutnya bibi yang bakal dipecat karena bibi nggak bisa ngurus Mas." Bi Yem tersenyum kikuk, sedikit bercanda di dalam kata-katanya.

"Nggak mungkin. Keluarga kami nggak se-tega dan sejahat itu sama orang." jawab Daren.

"Bibi keluar, ya. Siang, mas." tanpa di jawab Daren, Bi Yem melangkah keluar. Beliau memang sudah terbiasa diabaikan seperti ini. Toh si tuan rumah sedang sakit.

RUMAH TUJUH ENAM [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang