Freen berjalan perlahan menyusuri lorong menuju bisikan lembut yang didengarnya. Mengintip ke dalam ruang tengah, dia mengerjap beberapa kali saat petir berkelebat di dalam rumah dan meneranginya selama beberapa saat.
Pemandangan di depannya hampir seperti malaikat. Rebecca duduk di tengah ruangan, hanya mengenakan pakaian dalamnya dan apa yang duga sebagai salah satu blus putih tipisnya. Dia tidak bisa menahan senyumannya saat dia menyadari Rebecca pasti mengambil pakaian pertama yang dia temukan untuk dipakai diatas sport bra miliknya.
Selain cahaya bulan melalui jendela mereka, satu-satunya cahaya lain yang menerangi ruangan adalah cahaya redup dari laptop yang diletakkan di depan Rebecca. Gadis kecil itu menggumamkan sesuatu, dengan lembut mendorong wolf menjauh saat dia mencoba mendapatkankan perhatiaanya.
Freen menaikkan sebelah alisnya, mengambil beberapa langkah keluar dari lorong agar keberadaannya diketahui. Tapi Rebecca terlalu fokus pada tugas di tangannya untuk menyadari keberadaan gadis bermata hijau hingga suara lembutnya memenuhi ruangan.
"Kamu sedang apa?" bisik Freen, berlutut di sebelah pacarnya. Rebecca terkesiap, tangannya langsung meraih laptop dan menjauhkannya dari Freen.
"Tidak ada." Bisik Rebecca. Dia menatap pacarnya dengan gugup. "Kenapa kamu terbangun?"
"Aku bisa menanyakan padamu hal yang sama." Sahut Freen pelan, kekhawatiran tersirat dalam kata-katanya. "Apa ada yang salah? Apa badainya membangunkanmu?"
Rebecca menggelengkan kepalanya, menunduk menatap laptop dengan cemas. "Kamu harus kembali tidur." Bisiknya. Freen memiringkan kepalanya ke samping.
"Apa yang terjadi?" tanya Freen, tiba-tiba menjadi semakin khawatir. Dia beringsut mendekat untuk mencoba melihat laptop tapi Rebecca dengan cepat menjauhkannya sekali lagi. Freen menaikkan sebelah alisnya.
"Tidak ada." Rebecca menggelengkan kepalanya sekali lagi. Saat itulah gadis bermata hijau melihat air mata mulai menggenang di pelupuk mata gadis yang lebih muda, mengancam akan jatuh.
Rebecca menjadi kebingungan saat Freen bangkit berdiri dalam diam dan menghilang keluar ruangan. Dia dengan cepat kembali melihat laptop, menyeka air matanya dan mencoba fokus melalui penglihatannya yang buram.
Saat itu dia mendengar suara langkah kaki menghampirinya, dia mendongak dan menemukan Freen berlutut di sebelahnya, meletakkan dua gelas di lantai kayu.
"Ayo bicara." Angguk Freen pelan, mengambil botol anggur yang Nam berikan dari kepitan lengannya. Dia menuangkannya pada masing-masing gelas, dengan lembut menyelipkan satu di tangan Rebecca. "Ada apa denganmu belakangan ini?"
Rebecca memperhatikan gelas, dengan hati-hati memegangnya dan membawanya ke bibirnya. Freen memperhatikan saat gadis yang lebih kecil itu menyesap, mencoba menikmati rasanya. Gadis bermata hijau itu menghela nafas lega saat Rebecca sekali mengangkat gelasnya untuk menyesap.
"Tidak ada, PiFin." Rebecca menggelengkan kepalanya, menelan ludahnya. Freen memberinya tatapan yang hanya Rebecca yang mengerti. Tatapan yang mengatakan 'aku cukup mengenalmu untuk tidak mempercayai itu.'
Dengan lembut, Freen mengulurkan tangan dan meletakkan satu tangan di atas laptop, menatap Rebecca meminta persetujuan. Saat gadis yang lebih kecil itu hanya menundukkan kepalanya, Freen menggeser laptop di depannya dan menunduk untuk memperhatikan layarnya.
"Apa ini?" Freen memiringkan kepalanya ke samping. Dia meletakkan anggurnya dan memindahkan kursor di layar. "Survey?" gadis itu mendongak menatap Rebecca, yang menundukkan kepalanya dengan rasa bersalah. "Aku tidak mengerti." Ucap Freen lembut.
"Aku butuh uang." Bisik Rebecca, hampir tidak terdengar. Freen hampir tidak bisa mendengar ucapan gadis itu, tapi saat dia bisa menangkapnya, dia malah menjadi semakin bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
GREEN - Freenbecky
FanficBuku ketiga dalam Yellow Series Cerita ini bukan miliki saya, hanya terjemahan dan konversi dari buku berjudul Green → camren yang ditulis oleh @txrches. Saat ini, Rebecca dan Freen sama-sama tahu untuk memperkirakan hal yang tidak terduga. Namun, k...