[11] Vano

644 78 1
                                    

Maaf baru up yaa, sibuk rl + author lagi sakit😌

Ini chapter gaad aneh² jadi aman di baca pas puasa

Buat chapter selanjutnya mungkin aku up nya pas lebaran aja yaa~

Btw Jangan lupa voment nya!

***

Happy Reading!!

***

Ketika Vano masih kecil ia sangat menyukai moment saat ia terbangun dari tidurnya.

Sambil menggosok matanya yang mungil, ia terbangun dengan kaki kecilnya berlarian mencari keberadaan orang tuanya.

Vano selalu menemukan ayahnya sedang berada diruang tamu sambil membaca koran dengan baju yang sudah rapi bersiap untuk pergi bekerja. Menoleh sedikit, ia juga bisa melihat ibunya sibuk membuat sarapan di dapur.

Vano kecil tak bisa menahan diri untuk mendekati ibunya. Mungkin karena ia masih kecil saat itu, cara ia memanggil ibunya sangat imut sehingga ibunya langsung berbalik membuat suara gemas kepadanya dan menggendong nya.

Ketika ia digendong dalam pelukan hangat ibunya, mata Vano menjadi bulat menyipit tertawa sambil memandang ibunya yang juga tertawa dan tersenyum kearahnya.

Setelah itu ia melakukan hal yang sama keesokan nya, dan menjadi kebiasaannya untuk memulai hari saat itu.

Tapi pada suatu hari saat Vano terbangun dan mencari orang tuanya seperti biasa, ia menemukan pemandangan yang aneh di ruang tamu. Penampilan ayahnya yang berantakan tertidur di atas sofa dengan botol bir berceceran dimana-mana.

Vano bertanya-tanya kenapa ibunya yang selalu tersenyum cerah menjadi terlihat sedih dan menangis ketika mengambil botol itu di lantai? Ia tak mengerti dan masih terlalu polos untuk mengetahui apa yang terjadi.

Tapi Vano saat itu menghampiri ibunya berharap ibunya akan tersenyum kembali. Ibunya menanggapi keberadaannya dengan senyuman.

Tapi kenapa Vano merasa itu tak sama?

Semakin hari Vano yang masih kecil merasa bahwa ada yang salah dengan kedua orang tuanya. Ia merasa bahwa keadaan rumah semakin dingin. Apalagi ia tak lagi melihat ibunya tersenyum lagi, ibunya selalu berdiam diri di pojokan dengan mata yang kosong hingga membuat Vano ketakutan.

Itu terus berlanjut, dan ada suatu malam Vano terbangun dari tidurnya dan mendengar suara teriakan di depan kamarnya. Ia menjadi sangat takut dan bersembunyi di balik selimut sambil menatap pintu kamarnya sendiri.

Malam itu Vano tidur cukup larut karena suara itu dan membuatnya bangun lebih telat daripada biasanya.

Tergesa-gesa ia keluar dari kamarnya dan mencari keberadaan ibunya. Anehnya ia tak menemukannya dimana-mana dan hanya menemukan ayahnya yang bergumam sendiri sembari meminum bir.

Sejak saat itu, ia tak pernah melihat ibunya sama sekali seakan-akan ibunya menghilang ditelan bumi.

Setelah itu ketika Vano berumur 14 tahun, ia sudah terbiasa untuk melakukan semuanya sendiri. Menghidupi diri sendiri dan juga ayahnya. Ayahnya masih peminum berat, namun ia masih bekerja di pagi harinya hingga waktu nya bersama ayahnya sangat sedikit dan jarang mengobrol setelah ibunya hilang.

Sedihnya ia bahkan hampir tak mengingat rupa ibunya.

Ia tak sepolos dan sebodoh dulu, ia udah bisa menebak apa yang terjadi ketika ia masih kecil. Tapi baginya sudah sangat telat baginya untuk memahaminya sekarang.

Maka dari itu Vano ingin cepat dewasa, ia ingin membahagiakan ayahnya dengan cara masuk SMA dengan beasiswa. Dengan begitu ayahnya atau Vano tak perlu bekerja terlalu keras lagi. Tapi semua harapan itu menjadi pukulan keras untuknya ketika mengetahui ayahnya juga pergi tanpa kabar seperti ibunya yang meninggalkannya terakhir kali.

Saat itu adalah masa titik terendahnya yang membuatnya putus asa dan depresi. Ia mencoba untuk mencari bantuan kemana-mana bahkan ke polisi sayangnya semua itu tak bisa membantu.

Sialnya lagi ia juga dibully di sekolah membuat mental nya semakin terganggu.

Ini membuatnya cukup berpikir bahwa seharusnya ia tak lahir di dunia ini.

Ajaibnya ia masih bertahan saat itu hingga ia dipertemukan oleh Ejen yang merupakan ketua OSIS saat itu. Ia selalu membantu nya untuk mengobati luka nya.

Ia bertemu dengan Ejen setelah 3 bulan ia masuk SMA dan di bully habis-habisan. Pertemuan Itu sebuah ketidaksengajaan, saat itu Vano memergoki Ejen sedang bermesraan oleh pria lain di ruang OSIS.

Sejak saat itu Ejen selalu menghampirinya dan curhat, ia juga selalu membantu Vano ketika ada kesulitan. Bahkan ia sempat berpikir bahwa dibawah pengaruh si Ejen ia bakal tak akan dibully lagi.

Namun tentu saja keistimewaan itu tak akan pernah di dapat oleh Vano. Jadi ia masih di ganggu habis-habisan ketika Ejen tak ada di sekitarnya atau ketika ia diluar sekolah.

Lalu hari itu tiba.

Ketika ia bertemu dengan Jeza untuk pertama kali, Itu bukan pertemuan yang istimewa, Jeza hanya lewat di depannya membuat orang-orang yang mengganggunya langsung pergi kearah Jeza untuk mengobrol seolah-olah akrab.

Namun Jeza tak membalas perkataan mereka, bahkan tak menoleh sama sekali. ia hanya diam dan terus berjalan mengabaikannya. Mungkin saat itu Jeza tak sengaja telah menyelamatkan nya. Tapi itu membuat Vano memiliki kesan yang baik untuk Jeza.

Vano mencari tau tentang Jeza dan banyak hal yang membuatnya kagum di dalam hatinya.

Lalu ketika Jeza menolong nya untuk kedua kalinya, ia tak bisa menghentikan perasaan nya yang semakin tumbuh ke arah romantis yang membuatnya semakin ragu dan takut.

Sosok Jeza terlalu sempurna di matanya. Ia kaya, pintar, berkarisma, dan tak bergaul dengan orang-orang yang menjijikan.

Jeza memiliki standar yang tinggi untuk memilih orang-orang di sisinya.

Mengetahui itu Vano sadar, ia tak akan pernah memenuhi standar itu.

Tak ada alasan untuknya berada di sisi seseorang yang seperti itu. Vano hanya bisa menjadi beban untuknya.

Sebelum ia tersakiti, sebelum Jeza tersakiti.

ia memilih untuk menjauh.

Tak ada yang benar dalam hidupnya.

Bukankah ini keputusan yang tepat?

JEZA'S SUNSHINE [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang