2

137 15 2
                                    

Trigger Warning!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Trigger Warning!

Konten mengandung abuse, mental illness, blood, violence dan beberapa kata kasar yang akan membuat pembaca terganggu.

Bijaklah dalam membaca karena terdapat beberapa adegan yang tidak patut untuk ditiru!

***

Samantha diam membeku ketika Bennedict membelai pipi kiri Samantha dengan begitu lembut. Samantha memejamkan matanya seolah ia merasa jijik ketika Bennedict menyentuh wajahnya.

"Memang berbeda, ya? Sikap seorang Indo dengan Netherland asli," bisik Bennedict yang mampu membuat Samantha merinding. Suara Bennedict terdengar lirih namun terkesan sinis.

"Tak bisakah dirimu bersikap elegan layaknya wanita lain?" imbuh Bennedcit. Ucapan itu semakin membuat Samantha jengkel, ia tahu arah pembicaraan Bennedict yang selalu membanding-bandingkan Samantha dengan wanita Belanda tulen.

"Memang benar perkataan mereka kalau orang Indo tak akan mampu menyamai derajat kami orang Netherland asli," ujar Bennedict sembari tersenyum remeh ke arah Samantha yang mulai terlihat jengkel.

Samantha melepas paksa cengkraman tangan Bennedict, ia menatap tajam ke arah Bennedict sembari berkata, "Terserah dirimu, Bennedcit."

Samantha meninggalkan Bennedict dengan perasaan kesal. Ia tak pernah berpikir kalau menikah dengan Bennedict adalah sebuah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Hanya penghinaan, siksaan dan kesengsaraan yang ia dapatkan setelah menikah dengan Bennedict.

Samantha berjalan cepat menuju kamarnya. Sesampainya di depan kamar, ia segera masuk dan menutup pintu kamar dengan keras. Tak lupa Samantha mengunci pintu kamarnya dari dalam. Ia mencoba untuk mengatur nafasnya mencoba untuk mengontrol emosinya.

Ia mencoba untuk menenangkan dirinya dengan memakan buah apel merah segar yang tadi ia petik dari perkebunan. Samantha berjalan perlahan menuju ke arah jendela kamarnya, dibukanya jendela itu. Nampak hujan di luar rumahnya yang masih turun dengan deras, akan tetapi Samantha terlihat bahagia.

Hujan adalah satu-satunya kebahagiaan dalam hidup Samantha, karena saat hujan Samantha dapat merasakan kesedihannya hilang bersamaan dengan turunnya air hujan. Samantha duduk di kursi kayu yang menghadap tepat ke arah jendela yang terbuka.

***

Keesokan paginya, Samantha seperti biasa bangun lebih awal. Ia berjalan keluar dari kamarnya menuju ke kamar mandi. Ia segera menyelesaikan ritual mandinya dan segera berganti baju mengenakan dress vintage berwarna krem. Ia mengepang rambutnya dibantu dengan orang kepercayaan, Salirah.

Setelah itu, ia bersiap untuk menyarap makanan yang sudah dibuatkan oleh para pelayan di rumahnya. Ia terbiasa sarapan di jam enam pagi agar terhindar dari Bennedict yang biasanya mulai sarapan ketika jam tujuh pagi.

Let Her Go [SLOW UPDATE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang