19

131 46 2
                                    

"Al,"

Si empunya nama menolehkan pandangan pada sumber suara. Di situ Alvaro melihat bahwa ada 3 sahabatnya yang sudah pergi sedang berdiri didepannya.

Rafka, Renan dan Narel. Mereka bertiga maju selangkah, menutup jarak dengan Alvaro. Raut wajah lelaki itu berubah bingung akan apa yang dilihatnya. Semilir angin di pantai membuat rambutnya semakin berantakan.

"K-kalian? Kenapa ada di sini?" Alvaro tergagap. Ia takut sekaligus gembira karena mereka bisa bertemu kembali.

"Kami nggak mau lama-lama ngajak lo ke sini." Renan berbicara dengan suara lembut khas miliknya.

"Tolong sampaikan hal ini ke Kenzie. Kami mohon. Kami mau pergi dengan tenang," ujar Rafka.

"Hal apa yang harus gue sampaikan ke Kenzie?"

"Sebelum itu, gue mau bilang terimakasih sama kalian yang masih bertahan sampai sekarang." Narel memasukkan tangannya ke dalam saku celana.

"Cepetan! Hal apa yang harus gue sampaikan?" tanya Alvaro. Suaranya bergema di pantai yang sepi.

Melihat Alvaro yang kesal, Narel, Rafka dan Renan terkekeh geli.

"Oke. Gantian, ya?" Renan menoleh ke kanan dan kiri, menatap Narel dan Rafka.

"Sembilan belas," Narel berkata,

"Lima," sambung Renan.

"Empat belas," Rafka menyahut.

Mereka terdiam sejenak sebelum menghela nafas dan melanjutkan sambungan kata bersama-sama.

"Lima belas. Dia pembunuhnya. Kami pamit." ucap mereka bertiga lalu perlahan tiga raga yang mengenakan pakaian serba putih itu berubah menjadi bayangan dan perlahan menghilang dari pandangan Alvaro.

Alvaro terkejut. Ia sama sekali tidak paham dengan apa yang dimaksud.

"Sembilan belas, lima, empat belas, lima belas." beo nya. "Totalnya lima puluh tiga. Maksudnya?" Alvaro memandang ke arah langit biru di atasnya. Sinar matahari yang semulanya tidak terlalu menyilaukan pandangan, perlahan cahaya tersebut semakin terang, membuat Alvaro memejamkan matanya.

Saat mata Alvaro terbuka, dia mendapati dirinya berada di atas kasur. Ayam berkokok dengan sinar mentari pagi menembus jendela kamar yang masih terkunci. Alvaro memijat pelipisnya, merasa kurang bersemangat di pagi hari ini.

Ia mengingat mimpi yang baru saja dialaminya.

"Apa maksud dari angka lima puluh tiga? Kenapa hal ini harus disampaikan ke Kenzie?" pikirnya lalu turun dari tempat tidur, bersiap untuk mandi. "Apa gue cabut aja ya tuntutannya?"

••••

Alvaro memarkirkan mobilnya di parkiran kantor polisi. Ia membungkuk dan tersenyum ramah kala berpapasan dengan seorang security.

"Pagi, pak," sapa nya dan dibalas dengan anggukan.

Alvaro masuk ke dalam kantor, bertemu dengan polisi pria.

"Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya datang untuk mencabut tuntutan yang diatasnamakan Kenzie, karena ternyata dia tidak bersalah."

"Apa ada saksi lain yang mengetahui bahwa Kenzie memang tidak bersalah?"

"Pak, saya yang menuntutnya ke penjara dan sekarang saya ingin dia dibebaskan. Pelakunya bukan Kenzie, tapi orang lain."

RUMAH TUJUH ENAM [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang