Kisah Keenam : Waktu Bersama

121 19 0
                                    

Rembulan terang terlihat gigih di atas sana, memancarkan pendar seolah bertarung dengan kelap-kelip kota metropolitan saat kami membelah jalanan sesak ibukota. Arsena berhasil membuatku keluar dari agenda bermalasan di rumah sambil bermain gim. Beruntungnya, dia peka dan mau menyetir mobil sementara aku hanya duduk dengan manis.

Berbekal kartu dari Bunda, kami mendatangi pusat perbelanjaan ternama di Jakarta. Niat awal kami berdua hanyalah membeli jajanan ringan sebagai cadangan makanan untuk hari minggu, namun Arsena memiliki ide—aneh—lain.

Dia mengajakku bermain arcade. Fun world persisnya; tempat penuh permainan yang digandrungi kalangan anak-anak hingga dewasa.

"Basket, yuk? Yang kalah harus mengantar Neko buat grooming minggu depan!" seru Arsena sambil menggoyangkan kartu jingga di depan wajahku.

"Terakhir kali kita main bareng, kamu kan kalah." Aku memandang remeh Arsena. Dia memang pintar, tapi lain lagi kalau berurusan dengan olahraga.

Mendengar ucapanku itu Arsena hanya tertawa. Boro-boro tersinggung, kelihatan kesal saja tidak. "Itu kan dulu, sekarang beda lagi!" seru dia menggebu.

Belum ada kesepakatan terkonfirmasi mengenai sesumbar yang Arsena layangkan, namun derap langkah kami beriringan menghampiri tempat bermain basket yang sedang sepi peminat.

"Jadi taruhan?" Mataku memaku pada Arsena. Ia sudah mencoba menggesek kartu tersebut untuk memulai permainan. Ia menganggukkan kepala atas pertanyaan yang kulayangkan tadi. Tubuhnya sudah bersiap menyambut bola-bola yang datang.

"Sudah banyak gaya, kalau yang masuk sedikit gws saja," peringatku seraya bersedekap. Arsena tidak menggubris dan mulai memasukkan bola yang berdatangan silih berganti. Bagaimana pun juga, posisi dia melempar sudah bagus, tapi tidak dengan keakuratan menembak ke dalam ring. Menurutku, ini kutukan Arsena yang dianggap jenius. Dia sangat payah dalam olahraga atau gim!

"Udah Mas bilang. Masa cuman nyetak poin 50 sih, anak SMP bisa lebih baik dari kamu."

Arsena menggaruk belakang kepalanya dengan wajah meringis. "Aku kira bakalan lebih baik," ujarnya pelan. Dia melayangkan pembelaan yang berbanding terbalik dengan kepercayaan dirinya tadi. Aku merotasikan mata sebelum menggeser tubuhnya yang lebih pendek.

"Lihat dan perhatikan!" Sekarang giliranku.

Tentu saja dengan mudahnya aku mengalahkan poin yang dicetak Arsena. Aku memamerkan senyum kemenangan—semenyebalkan mungkin—supaya dia kesal. Arsena mendecakkan lidahnya, mulai terkonfrontasi dengan tingkahku. Nah, begini! Arsena ketika berambisi lebih menyenangkan untuk ditantang.

Kami menghabiskan waktu cukup lama di sana sampai hampir melupakan tujuan utama kami mengunjungi pusat perbelanjaan ini. Tapi, aku tidak merasa keberatan. Sudah lama sejak terakhir kali kami pergi bersenang-senang berdua. Walaupun dia kalah berkali-kali hingga mengeluarkan serapahan ke arah permainan, namun aku meyakini satu hal, Arsena kelihatan begitu menikmati tandangan kami ke arcade.

XXX

Berbelanja merupakan agenda paling membosankan jika pergi bersama bunda. Aku sering jadi kuli panggul dadakan, apalagi jika belanjaan bunda begitu banyak. Itulah mengapa Arsena selalu berkilah tiap kali bunda mengajaknya pergi belanja bulanan.

"Kenapa kalau belanja sama Bunda kesannya merepotkan ya, Mas?" tanya Arsena yang setengah menumpukan tubuhnya ke troli belanjaan. Mataku sibuk menyusuri rak-rak jajanan menggugah saat dia melayangkan tanya yang sedang aku pikirkan jawabannya juga.

"Karena kita cosplay jadi budak korporat," jawabku setengah mengasal. Arsena masih sibuk mendorong troli kala tanganku mengisyaratkannya untuk berhenti. Aku mulai mengambil beberapa jajanan dari rak, kemudian memasukannya ke troli yang didorong oleh Arsena.

"Bukan, Mas." Arsena memperhatikanku sembari menimpali jawaban asal yang sempat terlontar. Aku mendengus keki. Kalau dia sudah mempunyai jawaban sendiri, kenapa repot-repot bertanya? Dasar!

"Terus kenapa? Jangan bikin Mas pusing sama pertanyaanmu itu, lah."

"Soalnya Bunda sering bertanya perbandingan harga dan barang yang lebih worth it untuk dibeli. Alias selain tenaga, otak kita juga didorong untuk berpikir!" jelasnya begitu mantap bak detektif yang berhasil menyampaikan deduktif atas suatu kejahatan.

"Yah, Mas tidak bisa lebih setuju lagi. Alasan itu masuk akal," tanggapku dengan menganggukkan kepala. Bunda lebih suka membuat anaknya berpikir ketimbang memanjakan dengan kucuran uang tiada henti. Salah satu sisi positifnya, aku dan Arsena jadi jarang menghamburkan uang secara cuma-cuma.

Sewaktu kami hendak menuju area kasir, suara sapaan dari arah belakang menyita perhatian kami berdua.
"Loh? Raya!" seruan itu berbarengan dengan mendekatnya sosok gadis berambut sebahu yang sangat kukenali.

"Anya?" Pertanyaan refleks tak sengaja mengudara. Gadis itu hanya memamerkan senyuman lebarnya.

"Gue kira lo masih di sekre, ternyata udah balik aja. Btw, hai Arsen." Tangan Anya melambai singkat ke arah Arsena yang sedaritadi diam tanpa ada inisiatif menyapa duluan.

"Hai juga." balas Arsena sekenanya saja. Interaksi mereka terlihat sekaku kanebo kering. Aku tidak heran, Arsena memang suka bereaksi sok keren di depan orang lain.

"Mas, aku cari antrian dulu, ya. Supaya tidak terlalu lama. Mas lanjut sapa Anya saja, aku—" Belum sempat Arsena menyelesaikan dalihnya, aku memotong ucapan dia. "—Kenapa, sih? Kan kalian juga pernah kenal."

"Raya, lo tuh ya emang kurang peka atau gimana?"

"Maksudnya?" Aku menatap Anya penuh tanda tanya. Mengapa jadi diriku yang dilabeli tidak peka oleh Anya? Rasanya sedikit menjengkelkan entah mengapa. Hei, aku tidak seapatis itu!

"Mas memang begitu," timpal Arsena sengit. Mataku beralih menatap anak itu secepat kilat lalu mendaratkan jitakan cukup keras ke pucuk kepala. Rasakan saja.

"Ah! Sudahlah, aku mengantri!" Dia lanjut mendorong troli tanpa repot-repot membalas jitakanku maupun mohon undur diri kepada Anya. Aku menghela napas.

"Lo kalau ngomong sama dia baku banget?" Mata Anya masih mengikuti pergerakkan Arsena di sana.

"Kebiasaan keluarga. Ayah gue asli Jepang. Kalau bukan bahasa baku, dia gak bakalan ngerti obrolan kita." Aku mau tak mau ikut memperhatikan kembaranku yang kini sudah mendapatkan antrian.

"Oh, pantesan Arsena cakep."

Ah, apa Anya tertarik dengan kembaranku itu? Tidak aneh, sih. Dibandingkan aku, Arsena jauh lebih menarik.

"Gue enggak?" tanyaku iseng. Aku sangat tahu jawaban yang akan dilontarkan oleh Nanyarika. "Ngimpi deh lo!" dia menyikut lenganku seakan-akan pertanyaan tadi menyinggung dirinya. Padahal orang yang berhak tersinggung di sini itu aku!

XXX

Note : Konsep Etheral Minisode 3 keren banget huhuhu. Broken angel 😭

[21/03/2024]

Semua Untuk Raya (BEOMGYU FIC) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang