Tak pernah terbersit dalam benak bahwa aku akan kembali melihat Mas Raya dalam jiwa anak-anak yang penuh kenaifan. Jika harus mendeskripsikan, Mas Raya adalah sosok yang tak pernah memperlihatkan sisi manjanya pada Bunda. Dia selalu menjadi kakak yang bisa diandalkan, selalu menjadi anak yang dibanggakan, bahkan tak pernah sedikitpun meminta sesuatu bila kurang membutuhkan. Singkat kata, Mas Raya perwujudan sosok anak yang mandiri. Pun aku tak pernah ingat versi Mas Raya ketika menginjak usia enam tahun.
"Raya mau Bunda! Gak mau makan!"
Daripada memikirkan tugas, krisis terbesar yang kini aku alami adalah saat menyuapi Mas Raya. Dia tegas menolak seraya pamerkan raut sebal. Kedua tangannya bersedekap sambil memalingkan wajah dariku.
"Nanti Bunda ke sini kalau Mas makan." Aku berusaha membujuk. Sendok di tangan masih menggantung di atas, menunggu Mas Raya berniat mengisi perutnya yang sudah keroncongan.
"Bohong," dengus Mas Raya. Dia tetap mempertahankan sikap penolakan.
"Memang aku pernah bohong ke Mas Raya?" tanyaku. Tangan sebelah kanan mengantar sendok kembali ke mangkuk berisi bubur. Aku menatap kembaranku yang kini seperti bocah merajuk; sulit sekali diajak bicara.
"Gak tahu. Arsena selalu sibuk, gak pernah mau main-main sama Raya, tuh. Huh!" Wajah dia merengut kala tolehkan kepala padaku. Matanya berkilat-kilat penuh emosi. Alih-alih merasa terintimidasi, aku malah dibuat gemas sendiri.
Jadi, kucubit saja sebelah pipinya lalu berkata, "Aku sudah di sini buat Mas Raya. Kok tega banget malah bilang begitu. Mas kalau mau main, harus sembuh dulu. Harus makan yang banyak biar bisa jalan-jalan."
Kali ini wajahnya sedikit melunak; walau dua belah pipi itu menggembung sebal. Dia kemudian meraih mangkuk bubur yang berada ditanganku. Tanpa banyak omong, Mas Raya mulai menyendokkan sendiri bubur tersebut meskipun masih tertatih. Aku menarik senyum tipis.
"Kalau Mas sembuh, aku ajak keliling tempat yang biasa Mas Raya sukai. Kita main sepuasnya."
Matanya berubah berbinar saat menatapku untuk yang kedua kali. "Oh, ya?!" pekiknya super riang.
"Iya. Tapi Mas harus sembuh dulu sebelum bisa main."
"Sena kemarin tidak berkunjung, Raya jadi sedih sekali. Makanya Raya marah gak mau makan, soalnya Sena tidak datang kemarin!"
"Aku kan harus sekolah. Habis ini juga aku masih ada kelas, tapi Mas tenang saja. Setelah aku menyelesaikan semua tugas, aku bakalan main sama Mas. Bunda juga sebentar lagi datang," Aku berusaha menjelaskan perihal apa yang membuatku tak bisa mengunjungi. Sebetulnya, aku sempat terkejut mendengar penuturan Mas Raya.
Dari sejak bangun, yang dia pedulikan hanyalah Bunda. Ia sama sekali tak menggubris keberadaanku, malahan cenderung menolak. Entah apa yang dia pikirkan mengenaiku. Aku hanya bisa pamerkan senyum getir sewaktu melihat interaksi keduanya dari sofa.
Apakah jauh di dalam lubuk hati Mas Raya, ia memang lebih bahagia jika eksistensiku tidak ada? Begitulah pikirku tiap kali menerima penolakan dari Mas Raya yang terus menerus.
Namun, pikiran itu berhasil kutepis berkat perkataan sarat keluguannya barusan. Mas Raya ternyata masih sayang padaku. Dia masih sayang padaku, kan? Tidak peduli jika itu hanya ilusi semata, aku tetap akan mempercayainya.
XXX
Seminggu kemudian, teman-teman Mas Raya; Bang Reno, Anya, Kamal, dan David, datang berkunjung. Kebetulan aku sedang menemani Mas Raya karena hari ini adalah jadwal perdananya untuk melakukan rehabilitas.
Melihat kondisi Mas Raya, aku khawatir mereka kurang bisa menerima, atau buruk-buruknya malah mencemooh. Bukan hanya tingkahnya saja yang seperti anak umur enam tahun, cara berpikir Mas Raya pun sama. Segala pengetahuan yang sempat diperoleh Mas Raya seperti terhapus tak bersisa sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semua Untuk Raya (BEOMGYU FIC)
Fanfiction[ Beomgyu & Taehyun : Drama, brothership ] Raya mencintai semua yang berbau seni. Jurusan kuliahnya seni musik, hobinya melukis, dia juga seorang aktor amatir di teater kampusnya. Hanya saja, kehidupan Raya tidak seberwarna bakatnya.