Cerita Kesembilan : Dedikasi

113 19 11
                                    

"Hai."

Aku memandang satu per satu kawan band yang sudah seminggu terakhir tidak ditemui. Pasca semester, Kak Deon memang sengaja memberi jeda sejenak sebelum latihan kembali diberlakukan untuk mempersiapkan penampilan di festival kampus swasta.

Lebih tepatnya kampus Mas Raya. Ini kali kedua kami tampil di sana.

"Lo jadi bawa buntut ya sekarang?" Awan mencuri pandang ke belakangku, di sana Mas Raya sibuk mengamati sekeliling dengan mulut terbuka.

"Sorry, Mas Raya maksa ikut pas gue mau ke sini. Dia mau liat latihannya," jelasku singkat. Ketiga orang lain hanya menganggukan kepala. Kurasa, ini pertama kalinya mereka bertemu Mas Raya semenjak di rumah sakit terakhir kali.

"Keajaiban banget liat Kak Raya sekarang," Galuh berceletuk. Dia memang paling tahu kondisi Mas Raya, baik itu selepas kecelakaan maupun sewaktu koma.

Aku menaruh tas gitarku di dekat Awan, bibirku mengangkat senyum tipis kala mendengar kalimat dari Galuh. Sedikitnya merasa bangga melihat perkembangan Mas Raya dari hari ke hari yang semakin membaik.

"Raya, sini ...," panggil Kak Deon sok akrab. Anehnya, Mas Raya menurut tanpa banyak bicara. Ia berdiri di depan ketua band-ku yang sibuk menyetel senar-senar miliknya.

"Raya di sini. Kenapa panggil? Kok tau nama Raya?" rentetan tanya segera menyerbu gendang telinga Kak Deon. Sementara mereka terlibat obrolan, aku duduk di sofa sembari mengeluarkan alat musik dari tas.

"Raya suka nyanyi atau gitar?" tanya Kak Deon mengesampingkan segala tanya yang sempat dilempar oleh Mas Raya. Kembaranku tidak langsung menjawab, ia memproses pertanyaan itu terlebih dahulu sebelum bersuara lantang.

"GITAR!"

"Nah, sini gue ajarin main. Nanti bisa duet sama si Sena kalau udah jago." Dagu Kak Deon terangkat kearahku yang kini sedang memperhatikan keduanya dari sofa.

"Bakalan diliat banyak orang kalau duet?" Mas Raya menelengkan kepalanya, mengerjap beberapa kali musabab dikuasai rasa penasaran.

"Iya, dong. Nanti orang-orang di sana bakalan kasih semangat ke kalian berdua. Nah, misalkan jadi terkenal, banyak uang loh. Bisa beli permen sepabrik. " Seringaian dari Kak Deon membuatku agak was-was. Belum lagi, Mas Raya terlihat menyambut kalimat tak bertanggungjawab itu dengan rasa antusias.

"Jangan aneh-aneh, Kak Deon," peringatku seolah benar-benar mengetahui rencana yang terpikirkan oleh Kak Deon. Padahal aku tidak tahu pasti apa itu. Firasatku sedikit jelek tentangnya.

Walaupun demikian, berkat Kak Deon, aku jadi menyadari sesuatu. Kosakata yang dimengerti oleh Mas Raya sudah bertambah. Aku harus bersyukur dengan konten YouTube yang sering menemani Mas Raya di ruang TV. Tak kusangka itu bisa membantunya.

"Santai aja, Sen. Kak Deon berusaha bikin kalian satu panggung buat penampilan akhir. Semalem lu cerita soal lagu yang diproduksi sama Kak Raya, kan? Tadi si bapak ketua punya ide buat debutin lagunya." Awan menepuk bahuku pelan, dia turut serta dalam mengamati tiap hal yang sedang dikerjakan Mas Raya bersama Kak Deon. Aku menghela napas.

"Gue enggak mau. Mas Raya baru sembuh, tekanan buat tampil di festival itu terlalu berat." Keningku mengerut dalam, benar-benar menolak ide tentang tampil ini.

"Lo aja belum nyoba, gimana mau tau?" Awan masih kekeh dengan pendiriannya. Oh, betapa aku ingin sekali menjitak kepala Awan sekarang. Apa dia bodoh? Aku yang lebih mengetahui kondisi Mas Raya dari siapapun!

"Lo yang enggak tau apa-apa," balasku tajam. Kami saling beradu tatapan sengit setelah kalimat tadi sukses kulontarkan dengan dipenuhi penekanan.

Di tengah sesi adu pandangan yang panas, geplakan keras menghampiri belakang kepala kami berdua. Kak Deon sudah berdiri di depan kami--dengan wajah menyeramkan.

Semua Untuk Raya (BEOMGYU FIC) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang