Terlahir sebagai kembar, bukanlah sesuatu yang luar biasa. Camkan kalimat itu. Apa yang bisa dinikmati? Mempunyai sahabat abadi bukan berarti seluruh masalahmu bisa mudah terlewati. Bahkan tidak jarang bibit-bibit permasalahan muncul akibat orang yang dilabeli sahabat abadi.Berbicara tentang Arsena—saudara kembarku—daripada dipanggil kembaran, dia lebih mirip dengan setan tak berperasaan. Sejak kecil, ia paling lihai dalam mengelabui keluarga sampai berhasil menyematkan julukan 'anak malaikat yang menggemaskan' pada namanya sendiri. Sementara itu, julukan berkonotasi negatif berhasil melekat erat dalam nama Brayatanu. Semua berkat kerja keras Arsena dalam berdalih.
Dulu, saat Arsena bertingkah tanpa diketahui, Ayah adalah satu-satunya orang yang menyadari. Ia tidak pernah hanya memarahi satu anaknya, justru kami berdua sering kedapatan dihukum bersama. Hubunganku dan Arsena bahkan tidak seburuk sekarang. Mungkin, hilangnya sosok Ayah membuat kami sekeluarga terguncang.
Semenjak kematian Ayah, Bunda jadi sangat keras terhadapku. Rasanya, seluruh harapan tinggi milik Bunda ditumpuk ke bahuku yang tak seberapa. Berbeda denganku, Arsena jauh diberi kebebasan. Tiap prestasi miliknya akan selalu dielukan. Seolah-olah pencapaianku hanya sebatas kewajiban yang tak berkesan, sementara milik Arsena merupakan rekor yang paling diidamkan.
Sabtu damai yang harusnya bisa dipakai bersantai, perlahan menemui ujung yang retak kala teriakan Bunda menyapa rungu. Aku sedikit tersentak lantaran pekikan diiringi pintu kamar yang terbanting sukses mengusik kegiatanku.
"Brayatanu!" Bunda berdiri di depan pintu kamarku dengan mata garang menguliti. Aku sudah berhenti memetik senar, atensi sepenuhnya tercurahkan ke arah wanita jelita di sana.
"Kamu pecahin vas punya Bunda, ya?!" todongnya tanpa repot-repot bertanya terlebih dahulu. Bunda sangat meyakini ucapannya.
Aku lantas mengerutkan kening bingung. Sejak selesai sarapan, tungkaiku belum kembali menginjak ubin di luar kamar. Boro-boro tahu tragedi vas milik Bunda, menyadari mentari sudah berkelana jauh dari peraduan saja baru setengah jam lalu.
"Mas enggak tau. Coba tanya Sena."
"Kenapa jadi Sena, sih? Bunda lagi nanya kamu!" Bunda mendekatiku dengan tangan berkacak pinggang. "Jujur sama Bunda." Ia masih teguh mempercayai pelaku dibalik rusaknya vas seharga jutaan itu adalah aku. Brayatanu Diaskara si brandalan yang hobi menggenjreng gitar di kamar.
"Bukan, Mas —" Aku baru saja akan menyangkal ketika suara lain tiba-tiba memotong debat kusir yang hampir memanas.
"Bun .... " Kepala Arsena menyembul dari balik pintu, diikuti ngeongan neko dalam dekapannya. Mata Arsena tertuju padaku, ada binar-binar menyebalkan dari balik tatapannya.
"Sebentar, Bunda lagi bicara sama masmu," tegas Bunda sembari mengusir Arsena menggunakan gestur tangan.
Bukannya pergi, Arsena malah mendekati kami berdua. Kedua tangannya menyodorkan neko di depan Bunda yang masih berapi-api.
"Gak sopan," tegurku langsung. Tapi Arsena sama sekali tak menggubris. Ia masih dalam posisi mempersembahkan buntalan bulu ke bunda.
"Pelakunya neko, bukan Mas Raya."
Hanya dengan satu jawaban dari bibir Arsena, amarah Bunda padam. Keheningan menyapa seperkian sekon, tak lama kemudian Bunda izin pamit sambil sematkan ucapan maaf karena menuduhku. Bunda selalu begitu. Meminta maaf tanpa mengetahui bahwa ia sudah menorehkan luka lain pada anaknya sendiri.
𝗫𝗫𝗫
Malam harinya kami berkumpul di meja makan seperti biasa, seperti tidak pernah terjadi pertikaian apa-apa. Bunda dengan semangat menyendokkan nasi ke piring kami berdua, berperilaku seperti seorang ibu yang maha mengasihi. Aku tidak banyak bicara saat itu, sedikitnya merasa enggan karena kejadian sore tadi masih begitu membekas.
Dari dulu Bunda tidak pernah menganggapku sebagai seorang anak yang patuh. Tiap kali kami bertengkar, orang pertama yang akan dia marahi adalah aku. Semuanya menjadi masuk akal sekarang. Alasan kejadian sore tadi tercipta tidak lain karena Bunda yang memegang teguh stereotip bahwa akulah yang selalu menjadi anak bermasalah.
"Mas, besok ada kelas?" tanya Bunda sesudah menyelesaikan suapan terakhir. Mata hazel yang kuyu memandangku lekat.
"Ada. Besok mau ke kampus buat setor tugas UAS. Kenapa, Bunda? Mau diantar ke supermarket, ya."
"Oh, enggak. Bunda mau pergi ke studio, lagi kangen ngelukis. Yasudah, Sena antarkan Bunda, ya." Kali ini tatapannya beralih ke Arsena yang masih sibuk menghabiskan lauk di piring. Dia tidak menjawab, hanya memberikan acungan jempol sebagai persetujuan.
"Kebiasaan banget kamu, depan Bunda yang sopan!" seruku dengan mata memicing kesal. Bunda mengibaskan tangan atas ucapanku barusan. Ia tidak menyetujui teguran yang aku layangkan untuk Arsena.
"Kenapa deh, Mas? Sena udah jawab juga. Daripada diem aja lebih gak sopan," bela Bunda sambil menuangkan air putih ke gelas milik Arsena. Tsk, anak kesayangan Bunda memang berbeda.
"Makasih, Bunda cantik. Mas Raya masih kesal karena tadi sore, kah? Aku kan sudah minta maaf," ujarnya sembari memasang wajah memelas. Tanganku gatal ingin mendaratkan jitakan keras dan berbekas. Sebelum ini, Arsena sudah menjelaskan kronologi perihal vas bunga.
Demi Tuhan, aku tidak mempermasalahkannya lagi. Aku sudah cukup mengenal tabiat Bunda yang kadang bersikap seenaknya. Dalam hal ini, percuma meminta maaf. Nasi sudah menjadi bubur.
"Maksudmu apa?" Mataku langsung melotot sebagai tanggapan pertama. Lagi-lagi di depan Bunda, dia sengaja menarik perdebatan. Sudah tahu yang akan dibela Bunda hanya Arsena, bukan Brayatanu!
"Aku gak berani mendekat waktu Bunda marah. Makanya aku telat memberi tahu kalau yang memecahkan vas itu neko. Maaf bikin Mas disalahkan." Arsena langsung merangkulku sok akrab. Dia bahkan mengusak pipinya ke pipiku. Jelas saja aku berusaha melepaskan diri dari serangan physical touch milik Arsena yang tak terduga.
Alih-alih marah, Bunda terkikik geli. Syukurlah. Suasana hati Bunda malam ini sedang baik. Terlepas dari bagaimana tragedi vas kesayangan Bunda membuat aku merasa buruk, setidaknya makan malam kami berjalan lancar.
"Bunda juga." Kali ini Arsena melepas rangkulannya. Dia mengalihkan atensi ke Bunda yang masih sibuk terkikik. Wajah wanita jelita itu lantas tersentak sewaktu menyadari ekspresi Arsena yang agak mendingin dari biasa. Aku tidak mengerti apa yang membuatnya demikian. Arsena terkadang sangat sulit ditebak.
"Tiba-tiba nuduh Mas Raya tanpa alasan itu keterlaluan. Aku yang dari tadi di ruang TV enggak ditanyakan. Mbok Mir yang di dapur juga luput dari introgasi Bunda. Mang Iung yang lagi merapikan taman dilewati begitu saja. Kenapa harus Mas Raya?"
Mendengar ucapan Arsena tidak membuat perasaanku lebih baik. Karena menurutku, ada beberapa hal yang seharusnya tidak perlu dicari tahu. Bagi Arsena, jawaban Bunda hanya sebatas penghilang rasa penasaran. Tapi bagiku, jawaban Bunda tak ubahnya belati tajam yang menusuk ke ulu hati.
"Dari dulu masmu itu kan suka bikin keributan. Bunda baru pulang pemotretan, mana tau kalau Mas belum keluar dari kamar."
"Tapi —"
"—Jangan dilanjut, Sena. Cukup sampai di sana. Bunda juga udah minta maaf ke Mas. Gak perlu lah kamu perpanjang," potongku cepat-cepat. Rasanya menyesakkan sekali mendengar ucapan Bunda. Aku hanya bisa mengulas senyum tipis sebelum melanjutkan, "Mas sudah selesai makan. Mau ke atas duluan. Selamat malam."
𝗫𝗫𝗫
Taehyun TXT as Arsena Diaskara
Beomgyu TXT as Brayatanu Diaskara[ 10/2/2024 ]
KAMU SEDANG MEMBACA
Semua Untuk Raya (BEOMGYU FIC)
Fanfiction[ Beomgyu & Taehyun : Drama, brothership ] Raya mencintai semua yang berbau seni. Jurusan kuliahnya seni musik, hobinya melukis, dia juga seorang aktor amatir di teater kampusnya. Hanya saja, kehidupan Raya tidak seberwarna bakatnya.