Tiap tiga kali seminggu, jadwalku sudah dihak patenkan menjadi pendamping Mas Raya saat menjalani rehabilitas medik. Bunda segera menyerahkan tugas penuh tanggung jawab itu setelah Mas Raya menyerukan motivasinya. Tentu saja dengan menyeret namaku dalam kalimat yang terucap.
"Raya mau latian-latian jalan tapi harus sama Sena. Pokoknya harus Sena!"
Begitu kiranya seorang mahasiswa kedokteran yang tengah dibantai ujian praktikum juga bertugas menjaga kembarannya sendiri di rumah sakit. Mas Raya tidak bisa disalahkan, dia memang begitu setelah mengakui diriku sebagai kembarannya. Kata dokter, hal tersebut wajar terjadi sebab dia merasa nyaman berada di sekitarku.
Walau digempur habis-habisan oleh blok kardiovaskular, aku tetap memenuhi janjiku pada Mas Raya. Yang artinya, waktu istirahat dari segala tetek bengek pendidikan harus dipangkas sedikit. Tidak masalah, tidak masalah. Mas Raya saja tidak pernah mengingkari janjinya padaku. Termasuk janji untuk tidak meninggalkanku di sini. Dia masih kembali. Jadi, timbal balik dengan mengurangi waktu istirahat merupakan hal yang setimpal.
Namun, bukan hanya itu yang membuatku enggan menolak permintaan apapun yang digaungkan Mas Raya. Hari itu, setelah aku menemani Neko melakukan grooming mingguan, aku menjenguk Mas Raya. Suster keluar dari ruangan tepat ketika aku hendak masuk. Aku tidak terlalu mengenalnya, mungkin orang baru. Seperti biasa, aku berusaha melempar sapaan ramah sebagai salam basa-basi.
"Sore, suster."
"A-ah iya, sore." Dia buru-buru meninggalkan ruang Cordelia tanpa berani menatap mataku. Raut panik jelas tercetak kendati kepalanya sibuk menunduk. Aneh sekali.
Sambutan riang dari Mas Raya membuatku sejenak melupakan perihal kepanikan yang tersirat dari wajah sang suster. Aku berakhir menemani Mas Raya makan sambil menjawab seluruh pertanyaan yang ia berikan.
"Kita kembar? Kita sama?" tanya Mas Raya sewaktu aku selesai menerangkan hubungan antar saudara kembar seperti apa. Mata dia bahkan sibuk memindai tubuhku dari atas hingga bawah.
"Iya, Mas. Kita sama. Sama-sama anak Bunda, sama-sama anak Ayah, sama-sama anak kesayangan mereka meskipun jalan yang kita tempuh berbeda. Pokoknya kita sama." Kuperhatikan raut Mas Raya setelah mendapat jawaban tersebut. Dia tidak segera anggukan kepala seperti yang sudah-sudah, justru kedua keningnya mengerut dalam.
"Sena, kita gak sama. Sena dewasa. Raya masih kayak anak kecil, gak tau apa-apa dan suka merepotkan. Raya merepotkan banget, ya?"
Pertanyaan itu dilayangkan dengan tatapan tanpa dosa. Mas Raya jelas tidak memahami makna dari kata 'merepotkan' yang digunakan. Entah bagaimana dia mampu melontarkan pertanyaan seperti itu di saat tontonan sehari-hari, selepas siuman, adalah video tidak jelas berisi anak-anak bermain dengan menggunakan bahasa Rusia. Mas Raya tidak memahami percakapan dalam video, tidak mungkin dia belajar dari sana.
"Merepotkan beneran, kan?" Dia mengguncang tubuhku yang terdiam cukup lama. Sekarang, aku harus mencari jawaban yang bisa membuatnya mengerti. Dan tentu saja mencari sumber utama perolehan kalimat menyakitkan tersebut!
"Mas paham sama kata merepotkan?" tanyaku dengan sangat hati-hati. Mas Raya, seperti yang kuduga, menggelengkan kepalanya pelan. Aku menggenggam telapak tangan Mas Raya yang tidak terlalu mulus, penuh gurat bekas petikan senar tiap hari. Senyuman getirku mengudara.
Tiba-tiba, perasaan tak karuan muncul saat melihat kontradiksi antara kondisi Mas Raya yang sekarang dengan sebelum kecelakaan. Membayangkan musik tidak lagi menjadi bagian penting dalam hidup Mas Raya merupakan imaji yang selalu kuhindari. Dia harus sembuh. Dunia harus tahu bahwa Mas Raya bukan anak merepotkan. Tidak pernah merepotkan.
Aku tatap lekat-lekat wajah Mas Raya. "Merepotkan itu kata yang tidak baik diucapkan untuk sesama manusia. Padahal manusia juga saling membutuhkan. Contoh nih, Mas butuh makan pisang dan petani pisang juga butuh Mas buat beli pisangnya." Mengambil jeda sejenak guna menunggu Mas Raya berhasil memahaminya, aku baru melanjutkan, "Mas ... sampai kapanpun, Mas Raya tidak pernah merepotkan. Sena, Bunda, teman-teman yang lain itu anggap Mas Raya orang keren dan hebat!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Semua Untuk Raya (BEOMGYU FIC)
Fanfiction[ Beomgyu & Taehyun : Drama, brothership ] Raya mencintai semua yang berbau seni. Jurusan kuliahnya seni musik, hobinya melukis, dia juga seorang aktor amatir di teater kampusnya. Hanya saja, kehidupan Raya tidak seberwarna bakatnya.