Selama kegiatan survei berlangsung, tak bisa kutampik, gelagatku jauh dari kata tenang. Aku terus memikirkan Mas Raya. Takut sesuatu yang buruk menimpanya sewaktu-waktu hingga membuatku abai dengan sekitar. Beberapa kali Galuh menjawil bahuku karena tak kunjung membalas pertanyaan dari Kak Deon.
"Sena, lo kenapa, sih?" sunggutan kesal dari Awan menyadarkan dari lamunan. Dia resah melihat diriku yang kehilangan fokusnya.
"Keinget Mas Raya."
"Kak Raya gak bakalan ilang, gak bakalan diculik. Dia juga sama temen-temen lamanya, kan? Lo jangan terlalu mikirin itu. Fokus dulu sama urusan lo, lah. Kak Raya bukan anak kecil, Sen." Awan menyalurkan rasa kesalnya.
Ingin sekali aku membantah segala kalimat yang dilontarkan Awan. Tapi dilain sisi, aku sadar bahwa semua yang dikatakannya itu fakta. Fakta pahit.
Kalau Mas Raya bukan anak kecil, kenapa dia selalu minta antar jika ke kamar mandi? Kalau Mas Raya bukan anak kecil, kenapa dia tidak masuk ke kampus lagi? Kenapa?
Kepalaku mendadak pening memikirkan berbagai macam pertanyaan yang menyeruak. Melihat tidak ada reaksi dariku, Awan beralih menepuk bahu. Aku langsung mengangkat kepala yang setengah tertunduk.
"Gue gak mau lo kenapa-napa, Sen. Tolong pikirin diri lo sendiri juga."
"Makasih," gumamku sangat pelan.
Tak lama berselang, Galuh dan Kak Deon memanggil kami berdua untuk ikut berdiri di atas panggung, mencicipi stelan panggung yang sudah rampung diatur oleh panitia.
XXX
Malam itu, siapa sangka akan menjadi malam panjang yang menakutkan bagi kami — aku dan Bunda. Mas Raya yang biasanya sudah tertidur lelap, kali ini membuka mata penuh kubangan air mata. Ia terus menggenggam tangan Bunda erat sekali.
"Sakit ... kepalaku sakit sekali, tubuhku juga sakit," isakannya menjadi melodi malam yang sangat menyayat. Mas Raya kesakitan. Dia kesakitan seakan tubuhnya terluka begitu parah. Suhu tubuh Mas Raya pun bukan main tingginya.
"Sena, bagaimana ini?" suara Bunda ikut bergetar. Dia tak tega melihat kondisi kembaranku yang tak ada tanda-tanda membaik sejak tiga puluh menit lalu.
Aku berkali-kali menanyakan keberadaan dokter Mike—dokter pribadi keluarga. Sejak awal menemukan Mas Raya dalam kondisi mengkhawatirkan, tanganku sudah sibuk menghubungi dokter Mike, aku juga menanyakan bagaimana cara memberikan pertolongan pertama pada Mas Raya.
Otakku tak bisa mengakses beribu pengetahuan yang sempat kupelajari di kuliah. Melihat Mas Raya kesakitan membuatku dilanda kepanikan. Bahkan sampai dokter Mike datang, aku masih dalam posisi bergeming, hanya memperhatikan bagaimana Mas Raya meringis atau jarum suntik yang menembus kulitnya perlahan hingga membuatnya terlelap.
"Bagaimana, Dok?" Bunda masih memegang tangan Mas Raya, ia memandang masku dengan tatapan sendu.
"Raya terkena efek samping pasca kecelakaan."
"Tapi itu sudah lewat hampir tujuh bulan lebih. Apakah mungkin?" Aku mengerutkan kening dalam. Merasa bingung dengan penjelasan dari dokter Mike.
Dokter Mike lantas melirik Mas Raya yang sudah terlelap dengan sisa peluh menetes. Ia kelihatan tak nyaman dalam tidurnya. Aku berubah sedih, sangat sedih. Ada apa dengan masku?
"Mengakses pengalaman traumatis bukan sesuatu yang menyenangkan."
"Maksudnya?"
"Kemungkinan besar, ingatan Raya akan pulih."
XXX
Perkataan dokter Mike membuatku tak bisa tidur sampai subuh menjelang. Perasaanku campur aduk mendapatkan informasi bahwa Mas Raya kemungkinan besar akan kembali seperti sediakala.
Aku takut. Takut sekali kalau-kalau Mas Raya menarik dirinya kembali dariku, dari Bunda juga. Ia yang sekarang lebih mudah kupahami dibandingkan dulu. Ia yang sekarang pun terlihat lebih bahagia daripada yang dulu.
Di tengah kemelut tak berkesudahan, aku mendatangi kamar Mas Raya, mencoba mengintipnya dari celah pintu terbuka. Dapat kulihat figur familiar yang tengah duduk di tepian sembari memegangi kepala. Buru-buru kuhampiri dia yang tengah bergelut dengan rasa sakit.
"Ada yang sakit, Mas? Masih sakit?" tanyaku tergesa-gesa. Mas Raya mengangkat kepalanya perlahan selagi mataku memindai tiap jengkal tubuhnya, ia menatapku lama tanpa menjawab pertanyaan yang terlontar.
"Mas?"
Barulah Mas Raya merespon, ia menggelengkan kepalanya. Melihat itu, aku merubah posisiku menjadi berjongkok, menggenggam satu tangan Mas Raya yang mengepal kuat. Sorot mataku perlahan melembut.
"Kalau ada yang sakit, panggil aku, ya? Aku bakalan langsung datengin Mas Raya." Tidak ada tanggapan sama sekali.
"Sena ...," panggilnya lirih.
"Iya, Mas? Mau kuambilkan minum?" Aku baru saja mau beranjak ketika tangan Mas Raya menarik ke bawah, menyuruhku untuk tetap bersamanya.
"Tidak usah."
Manik mataku terus memperhatikan raut Mas Raya. Tatapan yang sempat menghangat penuh binar kini tak kelihatan jejaknya. Kekosongan menyapa sewaktu pandangan mata kami beradu.
Entah mengapa, perasaanku berubah tidak nyaman. Sangat tidak nyaman.
"Mas, ini Mas Raya, kan?" Aku sedikit mengguncang kedua tangannya, berusaha membuat Mas Raya untuk menjawab pertanyaanku.
"Apa maksudmu? Aku selalu Raya sejak awal siuman," katanya pelan. Tapi pandangan mata Mas Raya tertuju ke lantai. "Kau tidak suka aku begini, ya?" tanyanya.
"Enggak, bukan seperti itu." Kepalaku digelengkan sekuat tenaga sebab tak ingin membuat Mas Raya merasa demikian. Bukannya tidak suka dengan Mas Raya yang sudah kembali, aku hanya tidak bisa membayangkan Mas Raya tanpa senyuman lagi.
"Sena, bagaimana ini? Kenapa aku masih hidup?"
Ini yang paling aku takutkan. Ketakutan terbesarku setelah Mas Raya memulihkan ingatan. Dia ... mengingat kembali luka-luka lamanya. Dia kembali terluka. Mas Rayaku.
XXX
NOTE : Hai, akhirnya Raya kembali :)
Anw, aku udah up prolog dari next project. Barangkali mau mampir
[27/10/2024]
KAMU SEDANG MEMBACA
Semua Untuk Raya (BEOMGYU FIC)
Fanfiction[ Beomgyu & Taehyun : Drama, brothership ] Raya mencintai semua yang berbau seni. Jurusan kuliahnya seni musik, hobinya melukis, dia juga seorang aktor amatir di teater kampusnya. Hanya saja, kehidupan Raya tidak seberwarna bakatnya.