Mentari sedang menyengat membabi buta saat aku kembali menjejakkan diri di halaman rumah. Tragedi tiga hari lalu masih tercetak jelas dalam ingatan, luka yang ditorehkan rasanya tidak bisa dianggap remeh. Aku mungkin tidak akan pernah melupakannya, bahkan jika kelak ajal tiba-tiba menjemput.
Dengan perasaan berat hati, kakiku mulai melangkah masuk ke dalam seraya membawa sejumput harapan agar Bunda tidak menafikan keberadaanku.
Kususuri tiap ruangan di dalam rumah; ruang tamu yang dihiasi sofa beludu cantik, ruang keluarga yang dipasangi televisi keluaran terbaru dengan meja kaca pendek penuh majalah mode, hingga ke ruang makan yang menyajikan aneka ragam lauk-pauk sekaligus tempat kami sering bertukar kabar selepas mengisi perut yang keroncongan. Aku mengedarkan mata ke sepenjuru arah, tidak ada tanda keberadaan Bunda maupun Arsena di sana.
"Mas Raya, toh?"
"Eh, Mbok Mir." Aku memutar tubuh sewaktu mendengar panggilan dari arah dapur. Seorang wanita paruh baya dengan rambut mulai keabuan menyapa. Tubuh pendek Mbok Mir menghampiriku tergopoh. Sepertinya ia baru saja menyelesaikan tugas mencuci piring—tangan Mbok Mir masih basah.
"Nyonya semalaman ndak iso tidur gara-gara mikirin Mas Raya, loh. Takut kenapa-napa," ucapnya dengan dialek yang begitu kental. Aku hanya tersenyum tipis mendengar laporan Mbok Mir perihal kekhawatiran Bunda.
"Padahal aku cuman pergi sehari. Aku sudah besar juga, Mbok. Sudah bisa jaga diri," jelasku pelan-pelan. Tapi Mbok Mir tidak setuju akan deklarasiku barusan, dia menggelengkan kepala keras sambil menatap mataku serius.
"Sebesar apapun Mas Raya, bagi Nyonya, Mas itu tetep anak kecil yang dulu suka ngusel manja!"
Aku tertawa mendengar penuturannya. "Nggih, Mbok Mir. Sekarang, Bunda ke mana, ya? Kok Raya tidak lihat."
"Sama Mas Sena di belakang, lagi metik bunga." Tangan Mbok Mir menunjuk ke arah pintu yang membatasi ruang makan dan taman kecil.
"Terima kasih, Mbok!" Aku bergerak dengan cepat menuju tempat yang ditunjuk oleh Mbok Mir setelah menghadiahi cengiran lebar sewaktu berterima kasih.
Pintu yang membatasi rumah bagian dalam aku geser. Rumah kami di Jakarta mengikuti gaya perumahan modern Jepang. Bunda bilang, mertuanya yang dulu seorang arsitek begitu mencintai negeri asalnya sehingga merancang rumah yang bisa mengingatkan ia pada kampung halaman. Sampai detik ini, Bunda tidak pernah merenovasi rumah pemberian Kakek.
Aku melangkah pelan memasuki taman penuh bebungaan. Di ujung taman, ada gazebo beserta kolam berbatu pualam. Sosok Bunda dan Arsena bisa terlihat, namun semakin dekat, aku menemukan bahwa keduanya seperti tengah melakukan sesi debat yang alot. Wajah Arsena kusut, sementara Bunda kelihatan murung. Keduanya duduk saling berhadapan, namun hanya Bunda yang tetap merapikan tangkai mawar yang baru saja dipetik.
"Bunda, Sena ...," panggilku pelan, berusaha mengambil atensi dari keduanya.
Kedua pasang mata lantas menoleh kearahku serentak. Bunda yang pertama kali membuka suara, "Mas habis dari mana?" Tatapan mata tegasnya seolah menguliti. Sebelum Bunda melanjutkan kalimat tadi, Arsena menyentuh tangannya terlebih dahulu. Aku tidak banyak reaksi, hanya diem menanti tanggapan lain.
"Kami khawatir sekali sama Mas. Kenapa tidak mengangkat telpon dari Bunda atau aku?" Arsena beranjak dari tempatnya. Dia mendekatiku kemudian menghadiahi pelukan erat.
"Mas menginap di kampus." Aku tidak berani membalas pelukan Arsena, jadi aku biarkan dia seperti itu sampai dirinya sendiri yang berinisiatif melepaskan pelukan.
"Tetap saja! Harusnya kasih tahu kami, Mas." Ia memelototiku. Arsena kembali menjadi adikku yang menyebalkan dan berisik. Tapi entah kenapa, perasaan berat yang sempat membebaniku sedikit menghilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semua Untuk Raya (BEOMGYU FIC)
Fanfiction[ Beomgyu & Taehyun : Drama, brothership ] Raya mencintai semua yang berbau seni. Jurusan kuliahnya seni musik, hobinya melukis, dia juga seorang aktor amatir di teater kampusnya. Hanya saja, kehidupan Raya tidak seberwarna bakatnya.