Usulan Wira

44 28 0
                                    

Deru nafas Wira semakin memburu ketika mendengar tawa kecicikan. Bulu kuduknya kembali merinding hebat. Dia terus memaksa tungkainya tetap berjalan.

"Ahk!" jerit lelaki itu kesakitan, kakinya tersandung akar pohon mengakibatkan dirinya tersungkur di tanah.

Dia terlihat berusaha payah mengeluarkan kakinya yang tersangkut di akar pohon yang tampak rumit.

"Hikhikhikhi .... "Suara tawa itu terdengar jauh. Bukannya meredakan ketakutan Wira namun membuat seluruh tubuhnya gemetar ketakutan, tetapi Wira berusaha mengabaikan.

Eling melayang di hadapan Wira. Menyeringai lebar. Menampakkan sederetan gigi-gigi runcingnya." Hikhikhikik .... Aku mencarimu... Sekarang aku menemukanmu ... Hikhikhikik ..." tawanya kecicikan senang.

Wira berpura-pura seolah tidak bisa melihat makhluk tak kasat yang sekarang dihadapannya.

"Hehmm ... Kau mengabaikanku?" Eling mendekat. "Hey!" teriak Eling merasa diabaikan. Wira tidak memindai, tetap fokus melepaskan kakinya. "Hey, kau sudah tidak melihatku?" kedua bola putih itu mendelik tajam dihadapan Wira. Sebisa mungkin, laki itu tidak terpengaruh.

"Aaarghh!" teriak marah makhluk bodoh itu. Menatap kesal pada manusia yang terlihat tenang seakan tidak terganggu olehnya.

"Wira!"

Mendengar teriakkan salah satu temannya membuat Wira berteriak menyahut.

"Gue disini!"

Tiga gadis berlari menghampiri.

"Wira!" Jerit khawatir Rina langsung membantu melepaskan kaki Wira yang tersangkut.

"Ayo, minum!" Anas menyodorkan sebotol air, yang tersisa setengah. Dengan cepat Wira menyambut dan meminum sampai tandas. Dia sangat kehausan.

Rina tak sengaja melirik Eling yang mengambang di udara, belakang Wira. Seketika ia ingin berteriak. Wira langsung mendekap mulut gadis itu.

"Jangan berteriak," nada berbicara Wira sangat pelan. "Kita pura-pura tidak melihatnya. Kalian bisa kan?"

"Pura-pura tidak melihatnya, gue rasa gak bisa," jawab Rina menggeleng cepat. Takut.

"Tenanglah." Wira menggenggam tangan Rina. Menyalurkan keberanian." Percayalah, lo bisa. Kita bisa, ingat pura-pura tidak melihatnya."

"Iya," jawab Elin nampak berani. Dua gadis lainnya hanya mengangguk ragu. Mereka beranjak berdiri dan bersiap berlari.

"Hey!" teriak Eling menghentikan langkah Rina, wajahnya seketika memucat dan jantungnya sudah berdetak cepat.

"Ayo, Rin. Tenang," bisik Wira ditelinga gadis itu. Wira sedang dirangkul Rina membantunya berjalan. Gadis itu mengangguk patuh. Berusaha menenangkan jantung yang
sudah bertalu-talu.

Sementara kedua gadis yang berdiri didepan Rina dan Wira. Tersentak kaget. Sejenak mereka menarik dan menghembuskan nafas.

•••

Di pinggir sungai kepulan asap meninggi. Matahari yang cerah sedikit memerangi tempat mereka. Tidak gelap dan menakutkan seperti didalam hutan.

"Itu belum masak," tegur Farrel saat melihat Deni ingin memakan ikan yang nampak belum sepenuhnya masak.

"Gak papa, perut gue udah lapar banget." Deni tidak mengusir teguran Farrel. Dia mengigit rakus ikan gabus itu, baru daging ikan itu terkena lidahnya, Deni langsung memuntahkannya.

"Huek ... Gak enak!" seru Deni memegangi perutnya dan mendesis mual.

" Iya, iyalah. Gak enak, belum masak!"

"Tapi, gue udah lapar-"

"Sabar, tunggu! Sampe masak, biar bisa dimakan. Nih, punya gue yang satu udah masak. Ambil aja!"

"Thank, Rel. Baik banget lo!" seru Deni langsung mengambil dan melahapnya.

"Lo pintar, banget ya nangkap ikan," puji Deni memegangi perutnya. Sekarang perutnya sudah terisi walaupun hanya sedikit sangat sedikit.

"Dulu, waktu gue kecil sering banget cari ikan di kampung kakek gue. Gue di ajarin lah nangkap ikan tanpa alat."

"Owh, pasti seru!"

" Mau lagi?" tawar Farrel memberikan 1 tusuk ikan, ada 5 ekor ikan kecil yang menancap di batang kayu itu.

"Mau," celetuk seorang yang membuat kedua wajah pemuda itu memucat.

"Rel, kek. Suara perempuan'kan?" tanya Deni memastikan bahwa telinganya tidak salah dengar.

Farrel menjawab dengan anggukan kaku.

"Mauuuuu. Hikhikhikhikhik!" tawa kecicikan terdengar tak jauh dari mereka.

Otomatis mereka menoleh ke kiri ke kanan dan kebelakang. Tapi tidak ada siapapun.

"Aku di sini! Hikhikhikhikhik ..." sosok tertawa itu ternyata mengembangkan atas kepala mereka.

"Aaaaaaaa!" pekik mereka.

***

"Sekarang kita kemana?" tanya Anas panik. Mengedarkan pandangannya. Ia hanya melihat barisan pepohonan besar yang menghalangi pemandangan mereka.

"Insting gue, kita cari sungai di arah barat," jawab Wira, duduk di akar pohon besar, sedangkan Rina mengobati luka-lukanya dan Elin sibuk mengotak-atik handphonenya yang masih berfungsi walaupun sudah retak disana sini. Rusak akibat kecelakaan itu. Ia sedang mencari sinyal.

"Lo dapat sinyal, El?''tanya Wira beranjak berdiri, sekarang kakinya sudah berbalut perban berkat bantuan Rina.

"Thanks, Rin." ucap Wira berterima kasih pada Rina yang tersenyum tulus. "Iya, lo hati-hati jalannya." Wira mengangguk.

"Gak ada," jawab Elin mendesah kesal.

"Kita harus cari tempat yang terbuka. Biar dapet sinyal," saran Anas.

Di waktu bersama Farrel dan Deni sedang ketakutan setengah mati. Mereka dalam sedang bahaya, berlari-larian di kejar Eling.

"Aaargghh! Toloooong!" teriak Farrel yang
di seretan sosok itu, tubuhnya bertubi-tubi menabrak akar-akar pepohonan besar dan ataupun batang pohon.

Sedangkan Deni berlari mengejar berusaha menjangkau Farrel yang tersiksa ulah hantu tidak waras itu.

Brakk! Tubuh Farrel terpelanting menabrak pohon mengakibatkan kepalanya mengeluarkan cucuran darah.

"Aaaaa .... " rintih Farrel teramat kesakitan, mulut terbuka lebar merintis lirih dengan mata membelalak. Menggeliat kesakitan.

"Farrel!" Deni berlari menghampiri.

"Lo gapapa'kan?" tanya Deni sangat panik dan semakin jadi saat kedua mata Farrel berlahan tertutup.

"Lo jangan mati! Lo gak boleh mati!" tangis pecah Deni memeluk kepala Farrel yang berlumuran darah. "Please, jangan ninggalin gue! Gue takut!"

"Ahahahahahaaaaa!" tawa menggelegar Eling menikmati adegan mengharukan itu. Ia duduk
di dahan pohon. Sudah satu nyawa yang dia rebut dan tersisa sedikit lagi.

Traveling ( End )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang