7: Tinggal kenangan (Aruna POV)

6 5 0
                                    

Banyak yang bilang kalau bahagia itu ada batasnya. Sama seperti saat itu ... Disaat aku merasakan bahagia yang mampu membuat diriku seolah terbang ke langit paling tinggi di kehidupan, tiba-tiba Tuhan memberiku kejutan diluar perkiraan.

Disaat beberapa jam yang lalu aku merasakan kebahagiaan, diluar perkiraan ku. Tuhan merebut kebagian itu, tetapi aku tidak menyalahkannya, sungguh. Itu semua adalah kesalahanku sendiri karena terlalu terlena dengan kebahagiaan yang ternyata hanya bertahan sebentar.

Ditemani dengan keluarga yang masih duduk didekat pusara kak Arka untuk mendoakannya, Aku termenung memandangi gundukan tanah di depanku. Air mata ku terus mengalir tanpa ku perintahkan. Penampilan ku yang sudah tidak karuan sama seperti hatiku yang sedang merasakan perasaan sakit dan sesak seolah sedang dihujam banyak bebatuan besar.

Hari ini, detik ini, aku benar-benar kehilangan sosok yang aku cintai. Aku kehilangan duniaku. Sosok yang mencium ku malam tadi, sekarang sudah meninggalkan ku untuk selamanya.

Saat hatiku menolak menerima kepergiannya, tetapi dengan mata kepala ku, aku melihatnya. Sosok Arka yang sedang dimandikan, dikafankan, disholatkan, dan keranda yang berisikan raga kak Arka dimasukkan kedalam ambulans untuk diantarkan ke tempat peristirahatan terakhirnya. Sosok itu benar-benar seorang Arka, kekasihku yang teramat aku cintai.

Sosok yang pernah berjanji untuk terus menjagaku kini telah pergi, meninggalkan aku seorang diri. Kala dirinya pernah meminta izin untuk pergi, kini aku tahu dirinya meminta izin pergi meninggalkan ku untuk selamanya, sekarang aku kehilangan senyumannya serta tatapannya. Kehilangan segalanya tentang Arka.

"Udah sayang, jangan gini terus. Nanti Arka-nya susah. Jangan mempersulit perjalanan Arka, ya nak? Ikhlaskan." Ujar mamah menenangkan ku.

"Tadi malam kak Arka masih bisa aku peluk, mah." Balasku dengan lirih.

"Iya, mamah ngerti sayang."

"Kak Arka bilang mau ikut ke acara wisuda nya aku mah, kak Arka bohongin aku." Ujarku lagi dengan kekehan kecil diakhir.

"Jangan gini ya sayang? Mamah ikut sedih. Kamu gak lihat disini ada mamah, papah. Ada ibu juga, Fhera, bahkan Zevara, bang Gio, bang Wisnu, bahkan teman-teman mu yang lain juga ada. Jangan sedih lagi yah? Tuh liat ibu dan Fhera, mereka sosok yang kuat. Mereka juga ikut terpukul dengan kepergian kak Arka, tapi mereka berusaha kuat dan tegar. Mereka belajar untuk mengikhlaskan."

Mendengar ucapan mamah cukup membuat diriku tersadar, bukan cuma aku yang merasa sedih. Bahkan ibu dan Fhera pasti lebih merasakan kehilangan dibandingkan aku. Tapi gak bisa, rasanya aku disini yang paling sakit, aku yang paling merasa kehilangan, pokoknya aku.

"Mah! Kak Arka nungguin kita di rumah! Ayok pulang!" Aku tau, aku rasa kak Arka sedang di rumah, menunggu kita pulang.

Pasti ketika pulang nanti kak Arka bakal memeluk tubuh ku dengan erat seperti beberapa hari yang lalu.

"Iya, iya kita pulang. Tapi jangan berharap yang tidak-tidak, nak. Aruna sayang lihat mamah, cinta?" Ujar mamah sambil menangkup kedua sisi wajah ku, aku melihat dengan jelas wajah khawatir mamah. Tapi yang aku yakini, kak Arka sedang menunggu ku, dia gak pernah bikin aku kecewa.

"Ayo mah, kita ke rumah kak Arka. Papah ayok, ibu, Fhera ayok pulang. Zevara, ayok ikut aku ke rumah kak Arka." Beber ku sambil menatap mereka satu-persatu, mereka yang ku tatap hanya mengangguk kecil sambil tersenyum dengan mata mereka yang sembab.

Akhirnya kita pulang, aku mau ketemu kak Arka. Tunggu aku kak, aku dalam perjalanan.

"Pah, cepetan pah. Nanti kak Arka nungguin aku terlalu lama." Ujarku tatkala papah mengendarai mobilnya dengan cukup pelan.

MOON LIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang