Pagi yang cerah membuat mood Anin benar-benar bagus terlebih lagi saat mendengar bahwa orang tuanya akan pulang nanti malam. Saat berjalan di tengah-tengah koridor yang lumayan ramai, tiba-tiba saja tangannya di tarik oleh seseorang.
Anin melihat wajah dua perempuan yang ada di depannya itu dengan tatapan bertanya.
"Lo Anin anak kelas X MIPA 1?" tanya dari salah satu perempuan itu membuat Anin mengangguk. "Oh, jadi ini. Bocah bau bawang yang kemarin yang masuk base sekolah?"
"Anak baru udah berani gatel sama pacar orang," ujar teman perempuan itu dengan menganggapnya remeh. Anin melihat name tag masing-masing dari perempuan itu dengan seksama hingga membuat dua gadis itu bertanya.
"Ngapain lo liatin kita kaya gitu?" tanya Tasya dengan nada tidak terima.
"Tasya Aurelie, Kimberly," gumamnya mengeja nama keduanya. Hal itu membuat Tasya dan Kimberly melotot matanya karena melihat perlakuan adik kelasnya yang berani.
"Lo apa-apaan sih? Masih jadi adik kelas aja belagu." Kimberly kini mulai mendekatinya lalu mendorongnya hingga Anin terjatuh mengenaskan di atas lantai.
Anin hanya melihat wajah mereka dengan datar mengamati hal apa yang akan di lanjutkan oleh kedua gadis itu kepadanya. Kimberly berjongkok menyamakan tinggi badannya dengan Anin kemudian mencengkram kedua pipi Anin.
"Lo!" Kimberly mulai mengencangkan cengkraman pada pipi gadis itu sehingga ia mendengar rintihan kesakitan yang keluar dari mulut Anin. Mendengar suara itu lantas membuatnya tertawa sinis. "Sakit, ya, sayang?"
Gadis yang berada di hadapan Kimberly masih diam di tempat dengan tatapan datar. Sesekali meringis merasakan cengkraman kakak kelasnya yang semakin mengeras.
"Jauhin pacar gue, atau gue bikin lo gak betah di sini!" bentak Kimberly menghempaskan tangannya dari pipi Anin begitu saja. Anin lantas meringis sembari memegang kedua pipinya.
"Gue aja gak tau pacar lo," jawab Anin.
"Gak usah sok polos, bitch."
Mendengar kalimat akhir dari Tasya, membuat kedua tangannya mengepal kerasa.
Dengan tidak terima apa yang di ucapakan Tasya tadi, Anin berdiri menghadap ke arah gadis yang bernama Tasya. "Lagi ngomong diri sendiri ya, Kak? Jadi kakak kelas harusnya mengajarkan adik kelasnya yang baik bukan kaya gini," ucap Anin berupaya menahan tangannya yang ingin sekali memukul kedua kakak kelasnya itu. "Heran gue, kok bisa lo berdua bisa masuk sekolah ini?"
Tamparan keras itu mendarat di pipi kanan Anin dengan keras hingga mampu meninggalkan jejak kemerahan. Anin menutup matanya menahan emosinya yang akan meledak saat itu juga.
"Lo gak usah ngelawan, lo gak tahu kita siapa?" tanya Kimberly.
Anin mengangguk. "Tahu. Kalian nenek lampir yang suka nongkrong di pertigaan lampu merah kan?"
Lagi-lagi ucapan Anin membuat kedua gadis itu emosi. Karena tidak ingin menjadi sasaran lagi dari kakak kelasnya itu, Anin sudah berlari menuju UKS.
"Sakit banget!" rengek Anin memegang pipinya yang kini sudah memerah.
Di dalam UKS sana Anin dari tadi terus mengumpati kedua kakak kelasnya itu, Anin tidak peduli jika akan ada yang mendengarnya. Saat ini Anin ingin sekali mencakar wajah kedua nenek lampir yang full dengan make up.
Karena tidak ingin terus-terusan mengumpati kedua orang itu, akhirnya Anin menelpon salah satu kakaknya untuk menghampirinya yang berada di UKS.
"Mas."
Dari sana Shindu menatap layar ponsel dengan heran saat panggilan masuk dari adiknya itu. Terlebih lagi dengan suara adiknya yang serak seperti tengah menahan tangis.
"Ada apa? Lo nangis?"
"Nanti gue ceritain, lo mendingan ke UKS sekarang."
"Ngapain?"
"Jangan banyak tanya. Jangan lupa bawain jajan juga."
Sekitar dua puluh menit menunggu kedatangan kakaknya itu, akhirnya laki-laki dengan seragam OSIS lengkap itu muncul dari arah pintu. Seperti apa yang di ucapkan tadi, laki-laku itu benar-benar membawa sekantung plastik berisi jajan yang dia minta.
Shindu menatap heran dengan wajah adiknya yang memerah terlebih lagi pada bagian pipi kanan.
"Lo kenapa, jir?" tanya Shindu panik memegang pipi adiknya yang memerah. Bahkan dirinya ikut merasakan perih yang menjalar pada pipinya.
Sambil membuka bungkus jajan, Anin kemudian bercerita mengenai perlakuan kakak kelasnya terhadap dirinya sehingga membuat wajah Anin jadi seperti ini.
"Sok cantik banget mereka, cantikan juga gue," ucapnya dengan percaya diri.
Shindu mengangguk mengerti sambil mengompres kedua pipi adiknya dengan air hangat dengan hati-hati.
"Perlu di laporin kesiswaan dan BK, gak?" tanya Shindu. Jika Anin setuju, dirinya bisa membantu menindak lanjuti kasus yang terjadi pada adiknya. Sebagai seorang kakak mana mungkin ia rela melihat adiknya dengan kondisi seperti ini.
Anin menggeleng pelan. "Nanti aja, gak ada bukti juga. Takut di kira bohong."
"Udah selesai." Shindu meletakkan wadah air hangat itu di atas meja. "Sana balik lagi ke kelas."
"Masa ke kelas sih? Habis istirahat aja, ya? Nanti Mas tolong bilangin sama guru di kelas gue, kalau gue lagi sakit," ujar Anin membujuk kakaknya itu.
Sebenarnya Shindu tidak akan tergoda dengan bujukan-bujukan yang diberikan adiknya itu. Tapi saat Anin berjanji akan membelikan sepatu futsal yang sudah di incar sejak lama, membuatnya mengiyakan saja.
Setelah sepakat dengan perjanjian itu akhirnya Shindu memutuskan untuk keluar dari UKS meninggalkan Anin sendiri di sana. Sebelum kembali ke kelasnya sendiri, Shindu lebih dulu ke kelas Anin untuk memberi tahu kepada guru mapel bahwa Anin sedang sakit.
***
Tanpa mereka sadari ada salah satu siswi yang tidak sengaja melihat Shindu yang mengobati pipi Anin. Awalnya gadis itu tidak berminat untuk penasaran, tapi karena Shindu dan Anin sedang ramai menjadi perbincangan seantero sekolah membuatnya mengurungkan niatnya.
Seperti mengetahui idol-nya berkencan dengan seseorang, gadis itu memotretnya secara diam-diam.
Tidak sampai disitu saja, gadis itu pun mengunggah beberapa foto hasil jepretannya di base sekolah. Usai melakukan itu semua, gadis berambut pendek sebahu akhirnya kembali menuju kelas.
Foto-foto yang baru saja di unggah di base sekolah langsung ramai dengan reaksi-reaksi dari para siswa-siswi di sekolah ini.
***
author note :
Halo, apa kabar semua? Untuk bab kali ini feel-nya dapet enggak? Kalau belum maaf ya, aku usahakan lagi. Oh ya, ada yang nebak gak, siapa yang fotoin Anin sama Izaz diem-diem? Ayo tebak, nanti kalau bener aku kasih hadiah😋
KAMU SEDANG MEMBACA
Unspoken Traces
Novela JuvenilMenceritakan tentang sebuah keluarga Baskara dan Yunita yang memiliki tiga orang anak. Dua anak kembar laki-laki dan satu anak perempuan. Si kembar Shindu, Izaz, dan Anin sebagai anak bungsu. Keluarga yang harmonis bahkan tidak menjamin adanya konf...