Part 2

15 3 0
                                    

“Hauu!! Ayo sarapan!!!” Teriakan dari bawah membuat Haura turun seketika. Ia sudah cantik dengan abaya berwarna army. Sangat cocok dipadukan dengan kulitnya yang kuning langsat.

“kuliah pagi, Nduk?” Tanya ibu Haura dengan logat jawanya yang khas.

“Enggeh, Buk.” 

“Sampai jam berapa?” Kini ayahnya yang bertanya.

Haura yang tengah menata lauk di piringnya kini berhenti. Ia teringat percakapannya dengan Kamil tadi malam. Bahwa laki-laki itu akan datang kemari. Masalahnya, apakah keluarganya masih ingat dengan laki-laki itu? Sangat bahaya apabila ia tidak bercerita bahwa sahabat kecilnya akan kemari. Kamil sudah dewasa, dan sangat berbeda dengan Kamil yang masih kecil. Bisa-bisa laki-laki itu mendapat tatapan tajam dari keluarganya. Pasti mereka berpikir bahwa dirinya sudah memiliki pacar.

“Hau?!” Panggil kakaknya yang sedari tadi menyimak perbincangan mereka. 

“E-eh, iya?”

Nayla, Kakak Haura memutar bola matanya malas, “itu ditanyain Ayah loh, kamu nanti pulang jam berapa?” 

“O-oh iya, Ibu sama Ayah inget Bang Kamil sahabat Haura yang sekarang lagi di pondok?” Haura bertanya dengan hati-hati.

“Ingat lah, wong kalian dulu sering berantem. Tapi pas dia berangkat mondok dulu, kamu nangis. Kenapa emang, Nduk”

“Dia mau kesini, boleh gak?”

Nayla menyahut pertanyaan Haura dengan sedikit tertawa, “asli yaa, awas aja kalian jodoh. Kan bagus kalau ceritanya teman kecilku adalah jodohku.”

Mata Haura membelalak seketika, “Ngawur!! Kita itu sahabatan lama. Gak ada yaa!! Aku sama Bang Kamil tu udah kaya abang sama adek. Ya jangan sampai!!”

Nayla mengedikkan bahunya acuh. “Ngomong-ngomong, Hau. Kemarin Fah Nifa yang ngisi kajian di komunitasmu ya? Gimana acara majelisnya? Lancar?” 

“Ho.oh, beliau yang ngisi. Tau gak sih, Kak? Abis kajian kemarin, Fah Nifa tuh cerita banyak hal tentang Tarim. Mulai dari dia yang belajar sedikit-sedikit bahasa Arab sana, terus juga dia yang harus beradaptasi dengan suhu disana, banyak deh. Tapi yang paling bikin aku iri, kita tuh bisa belajar banyak hal disana. Dari ucapan maupun tingkah laku,” celoteh Haura.

“Yaa seperti yang pernah dikatakan Habib Abdurrahman Assegaf. Tarim adalah guru bagi yang tak memiliki guru,” sahut Ayah.

“Pengen deh, ngerasain tinggal di Tarim,” gumam Haura.

“Ya sana, belajar bahasa Arab dulu! Fah Nifa aja yang pinter banget bahasa arabnya masih perlu belajar lagi, apalagi kamu yang jurumiyahnya gak kelar-kelar!” Ledek sang Kakak. Lagi-lagi Nayla meledek Haura.

“Ya gimana ya, Kak. Susah tau menurutku,” curhatnya.

“Tau gak? Yang gak susah apa?” Nayla memberikan pertanyaan kepada adiknya Haura.

“Apa?” Jawab Haura malas.

“Zuad sama orang sana,” jawabnya sambil tertawa puas meledek adiknya. Sedangkan Haura menatap Nayla lebih malas.

“Udah ah, masih kuliah juga. Jangan bahas nikah dulu!” Tegur Ibu mereka.

“Iya, selesaiin kuliahmu dulu, Nduk!” Imbuh Ayahnya.

“Nggih, Yah.”

“Tadi Ayah tanya kamu pulang jam berapa belum kamu jawah,” lanjut Ayahnya mengingatkan.

“Oh iya, maaf Ayah. Haura nanti pulang jam setengah sepuluh.”

Nayla Azizah yang kerap disapa Nayla. Perempuan berusia 27 tahun yang kini telah menyandang status sebagai istri orang. Suaminya kini berada di luar kota menjadi manager di salah satu perusahaan ternama. Setiap satu bulan sekali, suami Nayla kembali ke Kota Jember untuk menjenguk istrinya. Mengapa Nayla tidak ikut suaminya saja? Disini Nayla memiliki toko kue yang dirintisnya sejak kuliah. Toko kue yang cukup besar, sehingga ia tidak dapat meninggalkan usaha yang ia kelola itu. 

Majelis HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang