Part 4

19 3 0
                                    

Jam menunjukkan pukul 9 malam. Ali berdiri di depan toko menunggu penjual yang mengambilkan rokok untuknya. Dilihatnya seorang ibu tengah berjalan bersama anak laki-laki seumuran adiknya. Ia tersenyum melihat interaksi keduanya. Rasanya Ali ingin menelepon sang Umi, menanyakan kabarnya. Apakah beliau baik-baik saja? Rasa rindunya membuat Ali semakin memikirkan Umi.

“Saya baru pertama melihat masnya disini. Santri baru, Mas?” Tanya ibu-ibu penjual rokok dengan logat jawanya yang medok.

“Saya ditugaskan ngajar disini, Buk. Baru dapat dua minggu ini,” Jawab Ali sopan.

“Oalah, pantesan. Asli orang mana, Mas?”

“Surabaya, Buk.”

Ibu-ibu penjual rokok itu mengangguk lalu menyerahkan rokok yang dicari oleh Ali. “Gak usah bayar, gak papa. Mas kalau nanti pengen nyari istri, bilang ke Ibuk. Ibuk punya anak cantik, lagi mondok disini juga.” Ucapan ibu penjual rokok itu membuat Ali merasa tidak enak. Tidak sekali dua kali ada ibu-ibu yang menggodanya.

“Tidak, Buk. Saya bayar saja rokoknya,” tolaknya.

“Masnya ini gimana toh, dikasih gratis malah gak mau!”

“Bukannya tidak mau, Buk. Tapi Ibuk kan jualan, masa mau dikasihkan? Saya yang tidak enak.” Ali meletakkan uangnya di atas etalase. Akhirnya ibu tersebut pasrah dan mengambil uang itu.

“Yasudah kalau begitu. Nanti kalau Masnya butuh sesuatu, minta tolong ke ibu saja ya!” Ali membalasnya dengan anggukan.

“Baik, Buk. Kalau begitu saya pamit, Assalamualaikum!

“Waalaikumsalam.”

Ali berjalan kembali menuju pondok. Jarak antara toko dan pondok pesantren sangat dekat. Ia melihat jam, saat-saat seperti ini pondok pesantren masih ramai. Kegiatan berlangsung hingga pukul 10 malam. Pada jam tersebut para santri sudah kembali ke kamar masing-masing dan tidur. Tetapi ada juga yang terjaga untuk menghafal, ngobrol bersama, dan kegiatan yang lain. Ia memasuki kamarnya, disini ia menempati sendiri. Tidak ada orang lain selain dirinya. Ali bersyukur, karena ia bukan tipikal orang yang mudah beradaptasi dengan orang baru. Ia tidak perlu untuk berbagi kamar, ia juga tipe orang yang menyukai kesunyian. Dilihat ponselnya tergeletak di atas meja, terakhir ia membukanya tadi pagi. Ingin sekali ia menelepon uminya, tapi jam segini bukankah beliau sudah tidur? Ali lalu membuka galerinya, melihat foto bersama keluarga. Disana ada Abah, Umi, dan juga ia bersama adiknya. Foto itu diambil saat lebaran kemarin. Foto itulah yang menjadi obat rindu bagi Ali. Saat ia memandang foto itu cukup lama, layar ponsel berubah. Sebuah telepon masuk dari sahabatnya, Kamil.

“Assalamualaikum,’ ucapnya setelah mengangkat video call dari Kamil.

“Waalaikumsalam. Baru selesai kegiatan, Ustadz?” Goda Kamil kepada kawannya itu.

“Ente sendiri gimana? Ane rasa ente lebih banyak healing disana.”

Kamil tertawa lepas dari balik ponsel itu. Memang iya, dirinya tidak sibuk disana. Ia bahkan sering pergi ke rumah Haura, atau saudara-saudaranya yang ada di Jember. Sebenarnya mereka sama saja, kalau dibilang sibuk ya tidak terlalu sibuk. Tetapi kalau dibilang gabut, tidak juga. Mungkin Ali lebih banyak menyibukkan diri disini karena ia belum sepenuhnya terbiasa disini. Ia juga sering meluangkan waktu untuk membaca kitab-kitab miliknya, mencari jurnal internasional, dan berbagai kegiatan positif lainnya. Sehingga waktu luangnya terkuras untuk kegiatan yang ia buat. Berbeda dengan Kamil, laki-laki itu memiliki banyak saudara di Kota Jember. Sehingga ia lebih senang menyempatkan waktu untuk berkunjung.

“Bukan gitu, ane disini banyak saudara. Jadi ya harus sering-sering berkunjung.”

Ali tertawa lebar, tidak ada yang pernah melihat Ali tertawa lepas selain Kamil. Bahkan keluarganya sendiri pun tidak pernah. Ali lebih sering menampakkan senyuman. Dan senyuman itulah yang memikat para perempuan disekelilingnya.

Majelis HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang