Part 3

12 2 0
                                    

Jam menunjukkan pukul 2 siang. Sudah hampir dua jam Haura berada disini. Ia bersama anggota komunitas hijrah tengah mengadakan rapat bulanan yang mana rapat ini diadakan sebagai bentuk perencanaan anggaran komunitas. Haura berbicara di depan seluruh anggotanya dengan menampilkan layar proyektor. Banyak dari mereka yang menyimak sambil memperhatikan. Tetapi ada juga yang pandangannya lurus, menatap meja. Bukan karena tidak menyimak, tapi karena ia terbiasa fokus hanya dengan mendengarkan. Seperti kata dosen Haura saat belajar, manusia itu ada yang belajar dengan media audio saja, visual saja, atau ada yang belajar dengan keduanya, audio visual.

“Mungkin ada yang ingin ditanyakan teman-teman?” Tanyanya sebelum mengakhiri rapat pada siang hari ini. Semua anggota menggelengkan kepala, pertanda tidak ada satupun pertanyaan.

“Baik kalau begitu, kita akhiri saja rapat pada siang hari ini. Kurang lebih begitu ya? Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

Seluruh anggota menjawab salam Haura dan keluar dari ruangan satu persatu. Haura tadi sempat melihat pesan dari Kamil yang mengajaknya makan siang bersama. Laki-laki itu juga berkata bahwa ia telah mengizinkan Haura kepada ibunya. Haura sedikit tidak percaya, bagaimana bisa laki-laki itu mendapatkan izin dari ibunya? Padahal ibunya bukan tipikal ibu yang mudah mengizinkan Haura pergi, apalagi dengan laki-laki. Ah sudahlah, mungkin pikir ibunya, Kamil adalah teman dekat Haura sedari kecil dan dia menganggap Haura sebagai adiknya. Tapi tetap saja bukan? Mereka bukan mahram. Haura lalu memanggil salah satu teman dekatnya di komunitas Hijrah. Namanya Nur, gadis cantik bermata lebar. Mirip sekali dengan Ning Umi Laila yang sekarang tengah viral di sosial media.

“Nur, ikut aku yuk!” Ajaknya saat Nur berjalan disampingnya.

“Kemana?”

“Makan siang sama sahabatku. Dia otw kesini katanya,” balasnya.

Nur mengangguk, kemudian ia bertanya “kenapa kamu ngajak aku, Hau? Emang gak ganggu?”

“Nggak kok. Malah kamu ngebantu banget. Tau gak? Yang ngajak tuh Bang Kamil. Makanya aku ngajak temen biar gak cuma berdua.”

Nur hanya membulatkan mulutnya sebagai jawaban. Nur bersahabat dengan Haura sejak satu tahun yang lalu. Mereka dekat karena majelis ilmu. Mereka juga sering bertukar cerita seperti Haura dengan Kamil. Nur tahu tentang Kamil, tetapi ia tidak pernah bertemu langsung dengannya. Ia sedikit penasaran, bagaimana laki-laki itu? Melihat Haura yang tidak pernah mau berinteraksi dengan lawan jenis. Tetapi dengan Kamil yang notabenenya bukan saudara, ia sangat dekat bagaikan kakak kandung.

Saat berada di pintu utama, mobil Avanza berwarna silver melaju dengan kecepatan sedang menghampiri dua gadis bergamis hitam. “Udah nunggu lama?” Tanya laki laki yang mengendarainya.

“Nggak sih, barusan selesai.”

Haura dan Nur masuk ke dalam mobil. Mereka berada di kursi baris kedua. Sedangkan Kamil didepan sendiri.

“Ente tuh bener-bener ya? Ane di depan udah kaya sopir pribadi aja!” Sindir Kamil.

“Sekali-sekali, Coy. Kapan lagi aku punya sopir pribadi?” Balas Haura mengejek. Kamil melihat ekspresi wajah Haura. Sangat menyebalkan dan ingin ia musnahkan saat itu juga.

“Makan dimana ini?” Tanya Kamil.

Haura berpikir, makanan apa yang enak dimakan saat siang menjelang sore? Apakah ayam geprek? Nasi goreng? Mie? Atau apa ya? Akhirnya Haura tersenyum puas setelah lama berpikir.

“Terserah!”

Jawaban singkat, padat, dan jelas membuat Kamil menatapnya jengah dari kaca mobil, “ente mikir agak lama kaya barusan dan kata yang terucap cuma terserah?”

Majelis HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang