Prolog

4.9K 27 0
                                    

Sial!

Aku sudah berulang kali memutar otak untuk mematahkan masalahku ini, tapi tetap saja buntu. Aku bingung. Setiap yang kupikirkan hanyalah berujung kesesatan. Aku harus bagaimana lagi?

Sudah tiga kali berturut-turut ibu kos datang menagih uang bulanan. Tapi, sebanyak itu pula aku memberikannya alasan kalau aku belum punya uang-walau sebenarnya itu adalah fakta.

Ya, aku juga maklum terhadapnya. Ini sudah berjalan tiga bulan lebih, dan satu bulan saja aku belum memberikan uang muka atau mungkin mencicil.

Aku benar-benar bingung sekarang. Tidak mungkin aku menghubungi orangtuaku untuk minta uang. Aku kasihan pada mereka. Mereka hanya buruh harian lepas di kampung, masa aku yang tinggal di kota ini masih harus membebani mereka? Ah, aku sudah persis anak tidak tahu diuntung kalau seperti itu.

Karena tidak punya pilihan lain, dengan berat hati aku mengirimi pesan singkat pada salah satu temanku. Waktu itu, aku sempat curhat padanya tentang masalahku ini. Tentang aku yang tidak punya uang untuk membayar kos, bahkan untuk makan pun sulit. Dan pada akhirnya, dia menyarankanku untuk mencoba penawaran tentang menjadi wanita bayaran untuk om-om senang.

Ah ... ya Tuhan, aku tidak pernah berharap ini akan terjadi padaku. Tapi, sudah semua cara halal kulakukan. Jaman sekarang sangat sulit mencari pekerjaan apalagi kami yang masih anak kuliahan semester tengah. Mendapatkan kerja part time itu sulit. Belum lagi persaingan bahkan aturan yang kadang tidak masuk akal.

Dan kalau terus-terusan aku tidak juga bekerja, aku bisa mati kelaparan di kota orang ini. Jika sudah begitu, bagaimana dengan janjiku yang akan pulang dengan membawa gelar ke kampung halaman dan juga pekerjaan yang mumpuni?

Karena hal itulah, aku pun memberanikan diri. Kutepis segala gundah dalam diri ini, seolah meyakinkan diri bahwa ini adalah salah satu alasan untuk bertahan hidup. Katanya, menyelematkan hidup juga bagian dari keimanan kita. Jadi, jika aku membiarkan diriku tersiksa seperti ini, aku harus membuat sebuah keputusan walau tetap salah di mata Tuhan.

***

Falen memberikanku satu kontak laki-laki yang katanya mau membookingku hari ini. Dan laki-laki itu pun sudah setuju. Di sinilah aku saat ini. Di dalam sebuah kamar hotel yang sudah dipesan oleh pria yang sebelumnya tidak pernah kutemui. Dia sudah memesannya bahkan sudah membayar untuk kamar vvip.

Benar-benar tidak adil sebenarnya! Kenapa orang kaya yang hidupnya enak malah melakukan hal-hal yang tidak baik, sementara aku yang sudah banting tulang sana-sini tetap tidak juga mendapatkan keberuntungan.

Aku terkesiap saat pintu kamar hotel dibuka begitu saja. Aku yang sedari tadi sudah gemetaran dan terus memandangi diri di depan cermin, langsung saja memutar badan upaya menatap kehadiran seseorang yang tadi mendadak muncul.

Untuk sesaat aku terpaku pada potret yang baru saja kutatap. Bukan apa-apa, tapi ... entah aku yang baru tahu atau memang beginilah kenyataannya, sosok yang baru saja muncul ini amat sangat mencuri perhatianku.

Katanya dia om-om senang. Tapi, kenapa begitu berkharismatik? Lihatlah pinggangnya yang ramping, serta bahunya yang lebar, sangat menyakinkan kalau lelaki ini gemar berolahraga membentuk otot besar dilengannya. Belum lagi wajahnya yang datar-datar saja, seolah tidak meyakinkan kalau dia adalah om-om senang yang hobinya menggoda gadis-gadis seksi.

"Hai ... maaf buat kamu lama nunggu," sapanya sambil berjalan mendekat.

Oh my god!

Alih-alih menjawab sapaannya, aku justru terhipnotis suaranya yang sangat khas bangun tidur di pagi hari. Berat, dan sedikit serak. Ah ... kenapa aku jadi berdebar? Sadar! Sadar! Sadar! Dia itu suami orang! Segera aku mengingatkan diriku.

"Oh nggak apa-apa kok, Om. Saya juga baru datang." Aku menjawab seadanya.

Aku mengekori lewat mata ke mana saja lelaki gagah ini berjalan. Awalnya dia melepas dasi yang melilit dileher jenjangnya, kemudian menggulung lengan kemeja, serta melepaskan arloji yang melekat dipergelangan tangan kirinya.

"Oke. Saya nggak akan basa-basi. Kamu siap?" tanyanya yang segera menguapkan tatapanku.

"Uh? Eh, i-iya, Om. Sa-saya-um."

Sial! Hei, paling tidak tunggu sampai aku siap entah siap berbicara atau siap menata jantungku yang sejak tadi sudah memompa. Tapi lihatlah lelaki ini, aku yang belum paham apa-apa langsung disergap hingga mulutku penuh merasakan hangatnya kecupannya.

Ya Tuhan ampuni aku. Aku berjanji hanya satu kali ini. Mulai hari ini, aku tidak akan pernah melakukan bahkan untuk berpikir ke arah sana pun aku tidak akan pernah lagi! Itulah bahasa janjiku pada sang pencipta kala kesalahan ini kulakukan dengan cara terang-terangan.

Saat aku mulai terbawa suasana, tiba-tiba saja pria ini berhenti. Dia mundur dariku beberapa langkah. Aku jadi mengerjap-erjap, tidak tahu kesalahannya di mana. Apa mulutku bau? Tapi sejak tadi aku sudah mengunyah lebih dari belasan permen baik itu yang manis bahkan yang berjenis mentol.

"A-ada apa, Om?" tanyaku, memberanikan diri.

"Berikan nomor rekening kamu. Saya bayar sekarang. Setelah itu, pergilah. Saya nggak butuh kamu lagi."

Gagal Jadi Ayah Mertua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang