Sekitar sepuluh atau lima belas menit aku mempertahankan sikap sok kenal sok dekat ini dengan ibunya Raka. Jujur, capek maraton, lebih capek lagi harus berpura-pura baik di depan orang. Rasanya seperti hidup ini terpaksa sampai rasanya rahangku kaku karena memaksakan tersenyum terus-menerus.
Huftt ... akhirnya aku sampai juga di kosan. Sudah ada di atas ranjang dengan gaya andalanku. Rasanya pegal sekali, padahal tidak ngapa-ngapain. Sejenak aku masih berpikir tentang keluarga Raka yang tampak nyaman dari luar tapi kaku di dalam.
Dan seperti yang kutangkap dari pembicaranya dengan ayahnya, Raka itu tahu bagaimana watak dari ayahnya. Yang menjadi pertanyaan dikepalaku sejak tadi, apa ibunya juga tahu tentang ini? Kalau iya, kenapa sejak kami berbincang ibu yang tampak seperti ibu pada umumnya itu kerap membanggakan suaminya. Sangat menjunjung tinggi nama baik suaminya sampai aku tahu kalau Om Burhan itu bekerja sebagai direktur utama sekaligus owner di perusahaannya sendiri.
Padahal kalau dipikir-pikir lagi, sikap om Burhan tampak dingin, dan kaku. Tapi kenapa istirnya malah betah-betah saja? Apa ini yang dinamakan cinta itu buta? Apa ini juga yang dikategorikan kalau perempuan itu memang cenderung menggunakan perasaan dibandingkan laki-laki yang sigap mencerna sesuatu dengan logika?
Ah, sudahlah. Kenapa aku malah memikirkan keluarga orang lain? Keluargaku saja di kampung tidak ada yang memikirkannya. Lebih baik istirahat dan lupakan tentang om Burhan itu. Siapa juga yang akan menyangka kalau kamu akan bertemu lagi? Mana dengan status ayah mertua pula. Memang sial!
Entah kapan agaknya aku terpejam, tapi begitu aku membuka mata jarum jam sudah menunjuk pukul empat dini hari. Sungguh suasana yang tidak kusuka. Karena apa? Ya karena bangun di jam-jam seperti ini itu sangat rawan akan kebiasaan setanku.
Belum apa-apa nanti aku akan digoda ponsel dan akan membuka hal-hal yang tidak-tidak di dalam sana. Belum lagi notifikasi app x yang sekarang-sekarang ini sering ambigu alias banyak yang tidak sesuai.
Itulah kenapa aku memilih memejamkan kuat-kuat mataku, berharap kalau godaan ini cepat-cepat pergi. Tidak bisa! Aku tidak bisa membiasakan ini. Karena kata mereka, kalau sering-sering seperti itu, aura kita akan gelap. Tiada pancaran keindahan dari wajah meski sudah dipoles bedak setebal delapan centi. Capek-capek dong skincare tiap hari kalau ujung-ujungnya terlihat layaknya hantu palak.
Teringat jadwal, aku tiba-tiba saja bangun dari tidurku. Astaga, hampir saja aku lupa. Ya, hari ini aku ada janji akan menjalankan freelance dengan tugas menjadi sekretaris dadakan.
Beruntung aku gerak cepat. Kalau tidak, temanku pasti sudah ada yang mengisi. Maklum, jiwa-jiwa miskin sepertiku ini jangankan teman, Indomie sisa kuahnya saja masih kuembat. Apalagi ini? Mana mungkin aku mau merelakannya pada orang lain walau katanya sekalipun itu teman.
Tidak akan!
Karena kesepakatan bertemu jam tujuh, tidak ada salahnya bagi bersiap-siap sekarang. Segera aku membuat beberapa aktivitas di dalam kamar mandi, dan setelahnya bergegas menyusun beberapa barang bawaan.
Aku akan ikut terbang ke kota lain mengikuti si bos. Beruntung, dan sangat tepat sekali waktunya. Sabtu minggu tidak ada mata kuliah. Jadi bisa mengambil kerja sampingan tanpa harus merusak mata kuliahku apalagi harus berurusan dengan dosen-dosen yang kadang bibirnya tidak bisa dikontrol.
Tapi mungkin aku akan bolos satu hari. Karena pulang dari sana tidak mungkin tubuh mungil penuh dengan keinginan kekayaan ini tidak capek. Tidak apa-apalah kalau cuma satu hari. Tidak akan ketinggalan apa-apa.
Sudah sekitar dua menit aku sampai di depan perusahaan yang menerimaku kemarin. Katanya tunggu di sini saja. Direktur itu akan keluar sendirinya dan akan langsung pergi saja.
Seingatku dalam cerita kemarin, bos ini punya sekretaris pribadi, tapi tidak bisa diajak keluar karena harus mengurusi beberapa masalah di kantor pusat. Jadi terpaksa mencari serap untuk mengurus beberapa hal-hal kecil yang ingin dicatat atau dibereskan.
Sekitar lima belas menit, akhirnya ada sosok lelaki yang keluar dari pintu kaca ini. Aku segera memasang wajah terbaikku, siapa tahu nanti bisa dijadikan karyawan tetap.
"Luna?" tanya pria dengan pakaian serba hitam ini.
"Iya, Pak. Kita berangkat sekarang?" balasku, yang kuharap sikap sigapku ini bisa merebut hatinya.
"Oh iya, perginya sekarang. Silakan ikuti Pak Burhan kalau bisa jangan ketinggalan langkahnya," jelasnya kembali, yang seketika saja membuatku berdebar tiba-tiba.
Apa katanya? Pak Burhan? Menjijikkan sekali isi kepalaku ini sampai aku berpikir kalau yang dimaksud pria ini om Burhan itu adalah orang yang sama seperti tebakanku.
"Ayo jalan. Saya nggak suka orang yang lelet!"
Astaga naga megalodon! What? Sungguh om Burhan? Maksudnya apa ini? Tunggu-tunggu, apa benar-benar aku sudah mengambil job dengan bepergian jauh bersama suami orang ini? Mana orang yang pernah kucium pula. Paling sialnya, dia juga ayah dari pacarku.
Apa ini? Kenapa kebetulan ini terus saja mengikutiku. Kalau tadi kekayaan yang terus mengekori masih bisa disyukuri, ini malah suami orang yang terus muncul! Aku tidak ada niat menjadi ani-ani yang suka sama suami orang. Tapi perlu diketahui lagi, kalau yang ini memang tipe aku banget.
Tubuhnya sangat peluk-able. Belum lagi caranya berpakaian, amat sangat menyita seluruh bulir-bulir darah di setiap tubuhku. Dan satu hal yang membuatku kadang suka terpaku melihat pria ini, rahangnya sangat tegas. Begitu tampak sosok lelaki matang yang banyak diincar gadis miskin bermental ani-ani sepertiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gagal Jadi Ayah Mertua
RandomAku tidak pernah tahu, kalau lelaki yang kuajak cinta satu malam kemarin adalah ayah dari pacarku.